Dosen Universitas Jember Diduga Lakukan Pencabulan Anak Dibawah Umur
Nada (nama samaran) seorang anak di bawah umur yang mengalami pencabulan oleh pamannya sendiri, yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Jember. Ia mengaku mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan tersebut sebanyak dua kali.
RH, inisial terduga pelaku pencabulan merupakan seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.
Menurut hasil penelusuran Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) "Imparsial", jejak akademik terduga pelaku, RH menyelesaikan S-1 nya di Universitas Jember pada tahun 2004, kemudian melanjutkan studinya di University of Wyoming dan mendapat gelar Master of Public Administration. Tak hanya sampai disitu, RH melanjutkan gelar PhD nya di Charles Darwin University. Dengan gelar akademik yang mumpuni tersebut, RH merupakan dosen tersohor di kampus.
"Sebelumnya, kami mendapatkan informasi perihal adanya kasus pencabulan dari Lembaga Bantuan Hukum Jentera (LBH Jentera) yang secara sah merupakan kuasa hukum dalam kasus ini, yang akhirnya membukakan akses kepada kami untuk menghubungi keluarga penyintas", kata Trisna Dwi Yuni Aresta dari UKM Imparsial yang melakukan investigasi masalah ini, pada Rabu (7/4/2021).
Menurut Trisna, bukan hanya LBH Jentera dan kami (Imparsial) sebagai Pers Mahasiswa, namun juga ada beberapa organ seperti Pusat Studi Gender (PSG) UNEJ, dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) dibawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Jember yang ikut mengawal kasus ini.
Kronologi dan Penuturan Ibu Penyintas
Trisna mengisahkan bahwa pada Selasa (6/4/2021), tim dari Imparsial berkomunikasi dengan ibu penyintas yang berinisial IR. Dalam penuturannya, IR membenarkan adanya peristiwa pencabulan yang dialami anaknya. IR merasa terpukul dan tak menyangka bahwa anaknya mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari pamannya.
Ketika kejadian, IR sedang bekerja di Jakarta, dan anaknya (Nada) memang tinggal bersama pelaku dan keluarganya. Ibu penyintas menuturkan bahwa ada hal yang aneh dari story Instagram penyintas yang menunjukkan gerik-gerik bahwa ia menjadi korban kekerasan seksual.
"setelah kejadian, anak saya bikin ig story isinya tuh tentang kalo dapet pelecehan tuh kita harus berani speak up jangan diem aja, terus saya komenin lah, terus dia bales via wa Ma Tolongin Ma, aku harus keluar dari sini…" kata IR
Tidak hanya itu, Nada juga menceritakan detail kejadiannya pada IR.
Menurut penuturan IR, RH telah melakukan sebanyak dua kali tindakan pencabulan. Kejadian pertama terjadi pada akhir Februari 2021 pukul 11 siang diawali dengan memberikan penyintas sebuah jurnal mengenai kanker payudara, dan menyatakan bahwa Nada menderita kanker payudara dikarenakan RH melihat bentuk payudara Nada yang tidak simetris.
Lalu RH berdalih melakukan terapi kepada Nada, namun RH diketahui sama sekali tidak memiliki skill melakukan terapi, hal tersebut hanya sebagai dalih untuk melakukan tindak pencabulan kepada Nada.
Tidak berhenti pada kejadian pertama, RH melakukan kembali aksinya pada 26 Maret 2021 sekitar pukul 10 pagi disaat keadaan rumah sedang kosong. Namun kali ini Nada memberanikan diri untuk merekam kejadian tersebut lewat perekam suara.
Modusnya sama, melakukan edukasi terkait kanker payudara dan ingin melakukan terapi kepada Nada yang diklaim oleh RH tengah mengalami kanker payudara (padahal kondisi Nada sedang baik-baik saja).
"Pada kejadian kedua ini, anak saya inisiatif untuk merekam, dan kali ini aksinya lebih lama dari kejadian pertama, sekitar 5 menit lebih-lah". Tutur IR.
Mendengar cerita dari anaknya, IR yang berada di Jakarta langsung melakukan tindakan dalam upaya mengamankan anaknya. Beberapa upaya akhirnya membuat Nada keluar dari rumah RH dengan dijemput keluarga dan dibawa ke Lumajang, yang berakhir dengan adanya kumpul keluarga untuk membahas kejadian tersebut.
IR menuturkan bahwa pada saat kumpul bersama keluarga pada 28 Maret, RH dan istrinya hadir dan turut memberikan keterangan atas kejadian tersebut.
"Pada saat di Lumajang, RH dan Istrinya hadir sampai sujud-sujud minta maaf ke saya untuk tidak melaporkan kejadian ini di kepolisian karena menyangkut karirnya dan hidupnya di Jember, kalau dilaporkan bisa hancur semua karirnya", kata IR
"Ya terus saya bilang ya saya maafkan, meskipun masih sakit ya dan gak semudah itu. Tapi proses hukum ini harus jalan terus", tambahnya
IR mengatakan dengan tegas kepada kami bahwa kasus ini harus dibawa ke ranah hukum dan pelaku harus dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan tekad yang bulat semenjak IR memutuskan untuk cuti kerja di Jakarta, ia memutuskan mendatangi Polres Jember pada Minggu, 28 Maret, namun laporan baru masuk pada hari kerja yaitu hari Senin 29 Maret 2021.
Pada saat membuat laporan di Polres Jember, IR akhirnya disarankan untuk menghubungi PPT Jember sebagai wadah untuk menangani kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
Penanganan Kasus Oleh Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jember
Tim Imparsial akhirnya mendatangi PPT Jember untuk meminta keterangan terkait pendampingan yang telah dilakukan oleh PPT terhadap kasus pencabulan yang diduga dilakukan oleh Dosen UNEJ.
"Pada saat kami mendatangi kantor, kami ditemui oleh Sholehati, Sindy, dan Gea", kata Trisna
"PPT Jember membenarkan bahwa mereka sedang mendampingi IR dan Nada dalam kasus dugaan pencabulan. Sholehati menjabarkan juga beberapa kronologi peristiwa, dan posisi kasus di tingkat kepolisian. Sholehati menekankan bahwa PPT Jember telah memberikan akses Rumah Aman untuk IR dan Nada tinggal selama di Jember", sambungnya.
Menurut Trisna, Selain akses Rumah Aman, PPT Jember juga mengupayakan adanya Visum lengkap bagi Nada dan juga telah mengupayakan adanya pendampingan Psikolog dalam upaya menjaga psikologis Nada agar tetap terjaga dengan baik.
Selain itu, PPT Jember juga mengupayakan terpenuhinya hak-hak Nada sebagai seorang anak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kuasa Hukum Penyintas dan Analisa Hukum Terhadap Kasus Pencabulan
Direktur LBH Jentera, Yamini yang menjadi Kuasa Hukum Penyintas dalam kasus ini mengatakan bahwa dalam penanganan kasus ini semestinya butuh beberapa elemen dan pihak-pihak strategis agar kasus ini dapat terselesaikan dengan baik.
"berdasarkan pengalaman pendampingan korban kekerasan seksual atau pencabulan yang dilakukan oleh keluarga sendiri sering terjadi intervensi antar anggota keluarga yang akhirnya menimbulkan kemandekan kasus yang berakhir tidak terpenuhinya hak-hak korban", kata Yamini.
"Kami mau agar kasus ini dapat terselesaikan dengan baik dan hak-hak korban apalagi sebagai seorang anak terpenuhi", tegasnya.
"Sedangkan berdasarkan tuntutan orang tua yang menginginkan terduga pelaku mendapatkan ancaman hukuman sepantasnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, kami selaku pihak kuasa hukum menggunakan asas lex specialis derogat legi generali (aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum umum), jadi kami menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak daripada menggunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)". Lanjut Yamini.
"Ancaman Hukuman yang akan diterima pelaku ialah paling lama 20 Tahun Penjara", jelasnya.
Menurut penelusuran, terkait pasal apa yang akan dikenakan kepada pelaku apabila menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002, ada beberapa pasal terkait diantaranya pasal 76E yang berbunyi "setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memukul, melakukan tipu muslihat, melakukan serangakaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul".
Dalam pasal tersebut dikatakan dengan jelas mengenai larangan dalam melakukan perbuatan cabul, larangan ini berlaku bagi siapapun dan apabila dilanggar maka akan berakibat pidana.
Ancaman lain bagi perbuatan ini juga termaktub dalam pasal 82 ayat (1) yang berbunyi "setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun & paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)".
Tak hanya sampai disitu, ayat (2) dalam pasal yang sama yaitu pasal 82 menyebutkan ada pidana pemberat yakni sebagai berikut : "Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua,wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana"
Jadi ancaman hukuman paling berat ialah 15 Tahun Pasal 82 ayat (1) ditambah 1/3 dari ancaman pidana Pasal 82 ayat (2) diakibatkan karena pelaku mempunyai hubungan keluarga dengan korban yaitu total 20 Tahun Pidana.
Selain itu, Sholehati dari PPT Jember menambahkan bahwa ejadian ini merupakan preseden buruk selain kepada UNEJ selaku institusi akademik, juga Jember yang menyandang sebagai Kabupaten Ramah Anak"
IR selaku ibu Nada, Yamini sebagai Kuasa Hukum dari LBH Jentera, dan Sholehati sebagai Perwakilan dari PPT Jember sepakat akan mengawal kasus ini sampai selesai, serta akan menggandeng beberapa elemen lain dalam upaya penghapusan kekerasan Seksual dan penegakan hukum yang adil berdasarkan hak asasi manusia.
"Saya akan terus kuat dalam kasus yang menimpa anak saya, yang buat saya tak habis fikir itu adalah RH sudah berani berbuat tindakan yang buruk kepada keponakannya sendiri, apalagi dengan orang lain, seperti pesan dari Nada sendiri di ig storynya kalau kita mengalami kasus kekerasan seksual jangan takut untuk speak up, jadi mari kita saling menguatkan" Pungkas IR dengan semangat bahwa kasusnya akan selesai dengan adil.
LBH Jentera
Yamini, HP: 0858-5233-7411
UKM Imparsial
Trisna, HP: 0812-4908-0490
Ega, HP: 0882-3161-4320