"Pertama di Cipinang 14 hari, terus pindah ke Salemba 13 tahun tanpa persidangan apa-apa, hanya sekali dimintai keterangan sebagai saksi," kata Ishak, saat ditemui di rumahnya di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (29/9/2021).
Selama 13 tahun di dalam tahanan, peristiwa tidak manusiawi sering kali dialaminya. Siksaan yang luar biasa dan kerap kali harus menahan lapar adalah hal sehari-hari baginya.
"Sudahlah jangan diceritakan, nggak ada yang enak lah. Kalau mukuli semaunya disuruh ngaku, lah saya nggak tahu anggota partai apa-apa, makanan nggak cukup," tuturnya.
Bahkan menurutnya, pernah selama 14 hari Ishak dan teman-temannya hanya diberi makan jagung yang disebar di atas lantai. Selain itu kondisi sel yang sempit membuat banyak rekannya mati tanpa sempat menghirup kebebasan.
"Sel dua meter kali satu meter diisi empat orang, harusnya di situ diisi 600 tapi nyatanya diisi 4.000 orang. Saya merasa beruntung hanya karena Allah saya bisa bebas dengan selamat. Berbeda dengan rekan-rekan yang lain berakhir tragis di dalam, Saya tahu-tahu tanggal 28 Juli 1977 dibebaskan," ungkapnya.
Setelah bebas, Ishak menjalani kehidupan yang cukup sulit. Menjadi buruh tani dan menjadi tukang petik kelapa sempat dilakoninya.
"Saya ini kan anak ustaz jadi beruntung masyarakat tidak begitu memberi cap buruk karena saya juga sebelumnya lulusan pesantren, jadi masyarakat banyak yang tidak percaya saya terlibat dalam PKI," imbuhnya.
Kesaksian Ishak di Malam 30 September 1965
Pria yang saat ini berusia 87 tahun itu dengan jelas menceritakan peristiwa yang dialaminya pada 30 September 1965
"Tahun 1956 saya mulai di militer, saya kesatuan di raiders, kopassus, terakhir saya pengawal istana, justru saya kenanya di pengawal istana tahun 1965," jelas Ishak.
Ishak menceritakan, dia awalnya tidak tahu bahwa akan dilibatkan dalam sebuah peristiwa yang tragis,
"Sulit diceritakan, saya kan komandan regu pengawal istana untuk mengawal Sukarno ke mabes teknisi di Senayan. Tahu-tahu Pak Untung datang, 'sudah jangan mengawal ikut saya' (menirukan perkataan Untung), itu tanggal 30 (September)," kata Ishak.
Mendapatkan perintah itu, dirinya sempat bertanya alasan perintah itu dialamatkan kepadanya. Ishak masih ingat bagaimana jawaban Untung atas pertanyaan yang dia sampaikan.
"Jawaban Untung begini 'Kamu mengawal saya, jadi ajudan saya, kamu kan bawahan, patuh hormat serta taat kepada pimpinan tidak membantah perintah atau putusan' (menirukan Untung), itu jam 18.00 atau 19.00 WIB," ucapnya.
Selanjutnya Ishak mengaku dibawa oleh Untung, bersama dengan Kolonel Latief, sopir dan ajudan. Dengan bersenjata lengkap, dia tidak diberi tahu tujuan perjalanan itu.
"Nggak dikasih tahu, tahu-tahu mampir ke RSPAD nengok Soeharto, anaknya kan Tommy sedang sakit. Setelah itu ke Lubang Buaya," lanjutnya
Sesampainya di Lubang Buaya, Ishak ditempatkan di sebuah pondok. Tidak berselang lama, menurutnya, pasukan Cakrabirawa yang lain tiba di lokasi itu.
"Tahu-tahu dibagi supaya menculik jenderal, saya nggak, saya ngawal Untung. Waktu itu pukul 01.00 WIB malam," ungkapnya.
Sekira pukul 04.00 WIB dini hari Ishak menyaksikan pasukan berdatangan. Dengan rasa kaget dia melihat sebagian jenderal sudah dalam keadaan mati.
"Datang pasukan, Jenderal Yani sudah mati, (Brigjen DI) Panjaitan mati, (Mayjen) Haryono mati, Toyo (Brigjen Sutoyo Siswomiharjo) mati. Yang hidup hanya tiga, Jenderal Prapto, Jenderal Parman dan satu lagi siapa itu (Lettu) Tendean," tuturnya.
Sontak kepanikan terjadi, karena dirinya tidak pernah menduga akan terjadi peristiwa yang mengerikan itu.
"Kami semua panik lalu (para jenderal) dibuang semua ke sumur ditembak dari atas. Saya kejadian itu sebentar kayak ngimpi," ungkap Ishak.
Setelah semua jenderal dibuang di dalam sumur, pasukan membubarkan diri. Dia ditinggal dengan pasukan truk.