Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia
Ketika seseorang yang memiliki status sosial tunggi meninggal maka akan dikorbankan seeokor kuda sebagai penghargaan terhadap arwah. Posisi kuda hampir sejajar dengan arwah nenek moyang.
Motif lainnya adalah buaya dan ayam yang memiliki makna kekuatan dan kehidupan bagi perempuan. Ada juga motif burung kakatua yang mencerminkan sikap kebersamaan masyarakat Sumba dalam menyelesaikan masalah, karena kakatua selalu terbang bersama-sama.
Sikap seorang pemimpin disimbolkan dalam hewan rusa yang selalu berjalan dengan kepala tegak menatap ke depan. Motif udang bermakna kebangkitan setelah kematian dan kehidupan abadi setelah dunia fana. Olehkarenanya, motif udang biasanya digunakan untuk membalut orang yang sudah meninggal.
Selain motif hewan, tenun Sumba juga memiliki motif ornamen megalitik dalam bentuk yang mirip topeng. Corak geometris seperti lingkaran, segi tiga, segi empat, belah ketupat dan anyaman. Motif ini tidak sekedar untuk memenuhi nilai estetik tetapi merupakan gambaran siklus kehidupan dari lahir sampai mati, juga simbol pemujaan pada alam, roh dan leluhur.
Tenun sumba tidak hanya memiliki makna dan fungsi sosiologis-spiritual, sebagaimana terlihat pada motif, tetapi juga memiliki makna edukatif, terutama yang terkaitdengan pembentukan karakter dan kepekaan terhadap alam. Hal ini terlihat dalam proses pembuatan tenun Sumba.
Menurut penjelasan Umbu Ignatius, prosess pembuatan tenun Sumba memiliki 42 tahap, dimulai dari meramu tumbuhan sebagai bahan pewarna, menyimpan untuk pematangan warna. Pada tahap menyimpan ini kain dibiarkan tidur seperti menidurkan anak dalam keranjang tertutup. Setelah semua dianggap cukup baru dimulai proses menenun.
Proses pewarnaan dilakukan secara alamiah, yaitu menggunakan warna asli yang diambil dari tumbuh-tumbuhan, seperti nila, mengkudu, kayu kuning dan pohon bakau yang tumbuh di pantai. Sebagai gambaran, untuk membuat lima lembar kain tenun Sumba dengan ukuran 120 x 75 cm dibutuhkan 3 kg pasta nila kering dan 30 kg akar mengkudu.
Cara membuat pasta nila adalah daun nila dipotong-potong kemudian direndam dalam air selama satu malam . Daun yang sudah direndam kemudian diperas dan dicampur dengan kapur sirih, ditiris lalu dikeringkan dengan cara dijemur. Proses pembuatan pasta ini memerlukan waktu lima sampai 8 hari.
Dari proses pembuatan warna yang alamiah ini kita bisa melihat bagaimana masyarakat bisa belajar berkomunikasi dengan alam dan memanfaatkan alam untuk kehidupan. Dalam konteks ini diperlukan kepekaan terhadap alam agar bisa memilih bahan secara tepat serta memtukan waktu untuk membuat bahan serta menenun. Proses ini tidak akan terjadi tanpa ada kepekaan terhadap alam.
Karena semua proses ini terjadi secara alamiah, tanpa melibatkan bahan kimia yang merusak alam, maka kelestarian alam bisa terjaga dan terpelihara dengan baik. Semua mencerminkan hubungan yang intim antara manusia dengan alam sehingga alam menjadi bagian kehidupan dari masyarakat.
Setelah zat pewarna jadi, baru dilakukan proses pewarnaan terhadap benang yang akan ditenun. Setiap helai benang pada kain tenun memiliki makna mendalam bagi masyarakat Sumba.Setelah semua benang diwarnai, baru dilakukan proses menenun.
Untuk membuat satu helai kain tenun diperlukan waktu yang cukup lama bahkan ada yang sampai tahunan, tergantung kerumitan motif dan fungsi dari tenun. Karena proses yang panjang inilah maka tenun sunda bisa menjadi sarana membentukn kesabaran dan ketekunan.
Dalam konstruksi budaya Sumba, menenun merupakan pekerjaan perempuan. Pada awalnya tujuan membuat kain tenun adalah untuk suami sebagai tanda hormat dan cinta. Kain tenun buatan istri ini akan dibawa oleh suami saat meninggal dunia, dipakai sebagai penutup jenazah.
Para perempuan Sumba juga membuat tenun untuk dipakai sendiri. Mereka menenun sejak akil baligh atas bimbungan ibu dan neneknya. Ketika sudah menikah kain hasil tenunan terbaik akan dibawa ke rumah suami dan selanjutnya diwariskan kepada anak-anaknya.
Apa yang terjadi menunjukkan bahwa tenun Sumba merupakan bagian dari tradisi dan budaya Sumba yang tidak memiliki nilai ekonomis. Para pengrajin tenun melakukan kerja menenun bukan kerena dorongan motif ekonomi, tetapi lebih pada dorongan tradisi dan adat.
Karena tidak ada motif ekonomi maka mereka tidak pernah berhitung secara material terhadap kain tenun yang telah dihasilkan. Kondisi inilah yang menarik perhatian Umbu Ignatius untuk melakukan pemberdayaan ekonomi para pengrajin tenun Sumba.
Degan memanfaatkan jaringan dan pengalaman sebagai pemandu wisata di Bali, Umbu Ignatius mulai memperkenalkan tenun Sumba pada turis lokal maupun mancanegara.
Pada mulanya masyarakat Sumba yang tidak memiliki orientasi ekonomi itu hanya menjual tenun ala kadarnya. Hal ini dimanfaatkan oleh para kapitalis. Mereka membeli tenun dari para pengrajin dengan harga murah kemudian dijual dengan harga sangat tinggi.
Untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Sumba, Ignatius melakukan pendidikan terhadap masyarakat Sumba mengenai nilai ekonomi dari tenun sumba. Menurut Umbu Ignatius hal ni bukan dimaksudkan untuk mengkapitalisasi budaya dan tradisi, tetapi untuk memberikan apresiasi dan penghargaan yang layak terhadap para pelaku budaya tenun Sumba.
"Dengan cara ini kami menjaga dan melestarikan budaya tenun Sumba" Kata Umbu Ignatius. "Jika para pelaku budaya tenun Sumba bisa meningkat ekonominya, maka tenun sumba akan bisa dilestarikan" lanjutnya.
Dari tenun Sumba kami bisa belajar bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa diwujudkan dalam laku hidup sehari-hari melalui berbagai simbol budaya dan tradisi yang masih terawat dengan baik.
Dari tenun Sumba kita tidak saja belajar tentang menjaga keberagaman dan kreatifitas, tetapi juga nilai-nilai dan sistem pengetahuan tradisional dalam menjaga dan merawat alam, berbagi dengan sesama, gotong royong dan menjaga nilai-nilai ketuhanan. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar