Rabu, 24 Februari 2021

Bantuan Pangan Non Tunai Bermasalah, Mahasiswa Pandeglang Demo Kejaksaan Negeri

Bantuan Pangan Non Tunai Bermasalah, Mahasiswa Pandeglang Demo Kejaksaan Negeri

Buntut BPNT Bermasalah, Aliansi Mahasiswa Pandeglang Aksi di Kantor  Kejaksaan Negeri

Puluhan massa yang terdiri dari Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia ( GPMI ), Jaringan Pemuda Mahasiswa Indonesia ( JPMI ), Assosiasi Gerakan Mahasiswa Indonesia ( AGMI ), Himpunan Aksi Mahasiswa dan Pemuda (HAMPA) yaang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Pandeglang ( AMP ) Kabupaten Pandeglang geruduk Kejaksaan Negeri Pandeglang soal carut marutnya supplier program Bantuan Non Pangan Tunai (BNPT) yang diangap memangkas hak masyarakat penerima manfaat. (Rab/24/02)

Pimpinan Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GPMI) Kiki Badhrul Hakiki mengutuk keras perusahaan supplier Persekutuan Komanditer (CV) Kenzi One Indonesia karena diangap telah memangkas hak masyarakat dengan memberikan komiditas pangan yang tidak layak dikonsumsi.

"CV. Kenzi One Indonesia sebagai supplier program bantuan pangan telah cacat. Perusahaan tersebut diketahui menyupplier sejumlah telur busuk bagi masyarakat penerima manfaat program bantuan pangan di Pandeglang",- ucapnya Rabu (24/2/2021)

Kiki Badhrul Hakiki dalam orasinya meminta Kejaksaan Negeri untuk bertindak tegas terhadap Perusahaan supplier yang menghisap masyarakat seperti dengan memberikan komoditas pangan yang cacat dan tidak layak konsumsi,

"Masyarakat kita ini sudah miskin jangan lagi di hisap. Oleh sebab itu kedatangan kami kali ini meminta kepada Kejari Kab. Pandeglang tegas terhadap perusahaan lintah darat yang menghisap masyarakat. Masyarakat kita ini sudah miskin jangan lagi di hisap",-pungkasnya,

Pria biasa disapa Kiki mengungkapkan, Pemerintah Daerah (Pemda) harus berani membersihkan mafia penghisap Prorgam BPNT/ BSP di Kab. Pandeglang. Ada mafia yang bermain pada program bantuan pangan di Kab. Pandeglang sehingga masalah pada program ini masih saja terus bergejolak.

Kiki Badhrul selaku Koordinator Aksi Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Pandeglang (AMP) mengatakan, Membersihkan mafia bantuan pangan di Kab. Pandeglang perlu komitmen bersama Pemda dengan Aparat Penegak Hukum (APH).

Menurutnya, Irna-Tanto Bupati Pandeglang selaku Kepala Daerah yang baru dilantik Pekan lalu harus juga melihat persoalan mafia pada bantuan pangan yang sangat merugikan masyarakat. Membersihkan mafia bantuan pangan harus jadi ajang pembuktian kepada masyarakat Kab. Pandeglang bahwa Irna Narulita-Tanto selaku Kepala Daerah sangat konsen kepada kesejahteraan masyarakat sesuai dengan janji pilkada Desember lalu.

Dalam Aksi serupa, Hidayat Presidium Jaringan Pemuda Mahasiswa Indonesia (JPMI) mendesak kepada DPRD Kab. Pandeglang Komisi IV (empat) dan Dinas Sosial Kab. Pandeglang untuk segera melakukan pemanggilang kepada Direktur CV Kenzi One Indonesia guna memberikan efek jera terhadap perusahaan yang menghisap masyarakat.

"Persoalan yang terjadi harus segera disikapi oleh seluruh pihak terkait. supplier yang memotong hak masyarakat harus segera diberikan sanksi tegas",-Teriaknya dalam orasi,

Hidayat menegaskan kami menunggu pemanggilan oleh Pemda pada CV. Kenzi One Indonesia dalam satu minggu ini. Apabila dalam satu minggu tidak ada pemanggilan pada pihak CV. Kenzi One Indonesia oleh Pemda Kab. Pandeglang. Maka jangan salahkan masyarakat apabila akan ada badai manusia mengepung alun-alun Kabupaten Pandeglang.

"Masyarakat Pandeglang sudah cerdas, mereka sadar haknya dipotong oleh supplier, oleh karena itu jangan sampai amarah masyarakat dipancing dengan sikap pemerintah yang acuh terhadap persoalan ini",-Tutup Hidayat.

Humas AMP
081317102220

Selasa, 16 Februari 2021

9 Milyar Dana Pembangunan Museum SBY Bukan APBD Pacitan Tapi Dari Gubernur Khofifah Sumbernya APBD Jatim

9 Milyar Dana Pembangunan Museum SBY Bukan APBD Pacitan Tapi Dari Gubernur Khofifah Sumbernya  APBD Jatim


Bupati Pacitan Indartato membantah dana Rp 9 miliar untuk Yudhyono Foundation bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Jatim).

Menurut dia, dana tersebut merupakan dukungan dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yakni pemerintah
provinsi (pemprov) Jatim untuk pembangunan museum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kabupaten Pacitan.

"Bukan dari APBD Pacitan. Itu dari pemeritah provinsi yang memberikan bantuan namanya bantuan keuangan khusus (BKK) kepada pemerintah daerah untuk pembangunan museum Pak SBY," katanya pada salah satu siaran TV Nasional

Indartato menerangkan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Pacitan awalnya mengusulkan dana bantuan untuk pembangunan Museum SBY.

Kemudian dana yang disebut sebagai bantuan keuangan khusus (BKK) itu diterima oleh Pemda Kabupaten Pacitan pada 9 Desember 2020 lalu. Dana tersebut selanjutnya dimasukkan dalam APBD Kabupaten Pacitan Tahun 2021.

Terkait dugaan adanya muatan politis dalam pencarian dana hibah tersebut, Indartato tegas membantah. Tujuannya, kata dia, semata untuk kesejahteraan masyarakat Pacitan.

Tampaknya apa yang dikatakan oleh Bupati Pacitan tersebut tidaklah berlbihan. Semangat Khofifah membangun museum SBY memakai dana APBD provinsi Jatim ini ditunjukkan dengan kedatangan Gubernur Jatim memantau langsung pembangunan museum ini ke Pacitan sebagaimana ditunjukkan status twitter pribadinya @KhofifahIP

Pada akun resminya https://twitter.com/KhofifahIP/status/1317787916127498240 Khofifah menulis status: "Melihat progres pembangunan Museum SBY - Ani (Pepo & Memo) di Jalan Lingkar Selatan (JLS), Pacitan. InsyaAllah, museum dan galeri seni sekitar 7.500 meter persegi ini selesai Maret 2021 mendatang & akan dibuka bagi masyarakat umum pada tahun 2022. Mohon do'a semoga lancar sukses"

Sementara itu Khofifah ketika dihubungi melalui HP/WA nya 0811-8788-888 belum ada tanggapan, demikian juga ketika Sekretaris Pribadi Khofifah, Ibu Luluk dihubungi melalui selularnya 0812-8659-6652 juga belum memberikan jawaban

Sebagaimana diketahui, bahwa sebelumnya viral kabar bahwa Pemerintah Kabupaten Pacitan telah memberi dana hibah sebesar Rp 9 miliar yang masuk ke Yudhoyono Foundation, yayasan yang didirikan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Kabar tersebut bahkan heboh di media sosial. Yayasan Yudhoyono Foundation dikatakan mendapatkan hibah sebesar Rp 9 miliar anggaran APBD Kabupaten Pacitan Tahun Anggaran 2021.



Minggu, 07 Februari 2021

Gak Kapok, Anak Rhoma Irama Lagi-Lagi Ditangkap Karena Narkoba

Gak Kapok, Anak Rhoma Irama Lagi-Lagi Ditangkap Karena Narkoba

Inline image

Kabar mengejutkan kembali datang dari dunia selebritas Tanah Air. Pedangdut Ridho Rhoma kembali ditangkap polisi terkait kasus narkoba.

"Benar,' kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus saat dikonfirmasi, Minggu (7/2/2021).

Informasi yang diterima detikcom Ridho Rhoma ditangkap oleh jajaran Sat Narkoba Polres Pelabuhan Tanjung Priok. Ridho ditangkap di sebuah apartemen di pada Kamis (4/2).

Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok AKBP Ahrie Sonta juga membenarkan soal penangkapan Ridho Rhoma ini saat dihubungi.

"Betul. Nanti lengkapnya bisa ditanyakan ke Polda Metro saja," ujarnya.

Ini bukan kali pertama anak pedangdut Rhoma Irama ini terjerat kasus narkoba. Ridho Rhoma pernah ditangkap polisi pada 25 Maret 2017 lalu. Polisi saat itu menyita barang bukti sabu seberat 0,7 gram berikut alat isapnya.



Sabtu, 06 Februari 2021

SATYAGRAHA: WARTAWAN YANG TERLUPAKAN

SATYAGRAHA: WARTAWAN YANG TERLUPAKAN
Oleh: Imron Hasibuan

Menjelang Hari Pers Nasional, saya memposting ulang tulisan enam tahun lalu tentang seorang wartawan yang seakan terlupakan dalam catatan sejarah pers negeri ini.
-------------------------------------

Lelaki tua itu berdiri di tengah pintu rumah sederhana, di sebuah perumahan, di pingggir Kota Bekasi. Perawakannya sedang, agak membungkuk. Sebuah kacamata tebal menempel di wajahnya yang mengguratkan keramahan. "Perkenalkan, saya Satyagraha. Ayo, silakan masuk," katanya, sambil bersalaman.

Sesaat kemudian ia pun mulai berkisah. Menjelang Pemilu 1955, pemilihan umum pertama setelah kemerdekan Indonesia, partai-partai politik bersiap, terutama dalam melakukan agitasi- propaganda. Hampir semua partai besar di masa itu telah memiliki surat-kabar yang mendukung. Masjumi, misalnya, punya koran Abadi. PSI didukung Pedoman, yang dipimpin wartawan kawakan Rosihan Anwar. PKI punya organ resmi Harian Rakyat. Bahkan PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia) menerbitkan Pemandangan.

Hanya Partai Nasional Indonesia (PNI) yang belum punya media resmi. Harian Merdeka, yang dipimpin BM Diah, hanya menyatakan sebagai simpatisan. Kebijakan redaksionalnya tidak harus selalu sejalan dengan garis PNI. "Melihat kondisi ini, Pak Sidik Djojosukarto, yang saat itu menjabat Ketua Umum PNI, memanggil beberapa pengurus DPP PNI untuk segera menerbitkan sebuah surat-kabar yang merupakan organ partai. Tujuannya untuk mengantisipasi pemilu yang akan segera digelar," kata Satyagraha.

Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa akan segera diterbitkan koran harian dengan nama Suluh Indonesia. Sebagai pemimpin umum ditunjuk M. Tabrani, salah seorang tokoh senior PNI yang juga digulis (orang yang pernah dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Digul, daerah terpencil di Papua). Sedangkan pemimpin redaksi dijabat Sajuti Melik, yang juga digulis.  "Saya diminta Pak Sajuti Melik menjadi redaktur pertama. Dalam praktiknya, saya merangkap sebagai reporter, korektor, dan lay-outer. Pak Sajuti, sebagai pemimpin redaksi, hanya menulis Tajuk. Saya hanya dibantu seorang wartawan bernama Hasan Gayo, yang pernah bekerja di surat kabar Indonesia Raya." Jadi, di masa-masa awal penerbitannya, Suluh Indonesia hanya punya awak redaksi tiga orang: Sajuti Melik, Satyagraha, dan Hasan Gayo.    
 
Setelah persiapan beberapa bulan terbitlah Suluh Indonesia. Edisi perdana Suluh Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama singkatannya, Sulindo, terbit 1 Oktober 1953. "Edisi perdana Sulindo itu dicetak di percetakan milik Sutan Takdir Alisyahbana, di Jalan Ketapang. Hanya empat halaman hitam putih, oplag sekitar 75 ribu eksemplar. Dari sore sampai tengah malam, saya dan Hasan Gayo mempersiapkan lay-outnya di percetakan. Pak Sajuti sempat mengecek ke percetakan, dan bilang: 'lay-outnya kok seperti susunan batu bata'. Saya jawab: yang penting terbit dulu, Pak. Ha..ha…"

Sejak itu, Sulindo terbit setiap hari, Senin sampai Sabtu. Respon masyarakat cukup bagus. Sebagian koran  didistribusi lewat cabang-cabang PNI di daerah, sebagian lagi lewat agen-agen surat-kabar.
Sajuti Melik menjadi pemimpin redaksi hingga Pemilu 1955 usai. Suasana kampanye pemilu, membuat pemasaran Sulindo melonjak. Oplag pun digenjot hingga 150 ribu eksemplar. Kata Satyagraha: "Di masa-masa kampanye pemilu, Suluh Indonesia secara jelas menunjukkan warnanya sebagai koran PNI. Semua kebijakan dan kegiatan partai disiarkan. Bahkan, lambang PNI, banteng segitiga, dipasang di halaman satu."  Hasilnya sukses besar: PNI keluar sebagai pemenang Pemilu 1955.

Tak lama setelah pemilu, Sajuti Melik digantikan M. Supardi. Tokoh terakhir ini sebelumnya menerbitkan surat-kabar Nasional, yang juga berhaluan nasionalis. Tapi, hanya terbit setahun, dan kemudian bangkrut. Saat Supardi pindah ke Sulindo, ia membawa awak redaksinya, ada sepuluh orang. Satyagraha tetap menjadi redaktur pertama.
Tak sampai setahun kemudian, Supardi diganti lagi oleh Manai Sophian, yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Proganda DPP PNI. Dibawah kepemimpinan Manai Sophian, Sulindo hampir sepenuhnya menjadi corong partai. Satyagraha masih menjadi redaktur pertama.

Dari Manai Sophian, pemimpin redaksi Sulindo beralih kepada Jusuf Muda Dalam. Satyagraha sempat memprotes pengangkatan Jusuf Muda Dalam kepada Sidik Djojosukarto. "Banyak yang tahu bahwa Jusuf Muda Dalam pernah menjadi anggota aktif PKI. Malah dia menduduki posisi penting di PKI, sebagai anggota tim verifikasi yang menentukan penempatan orang-orang di jabatan penting di PKI. Tapi, Pak Sidik bilang, dia sudah 'tobat', dan kini masuk PNI." Maka Satyagraha pun terpaksa menerima keputusan itu. Posisinya di Sulindo tetap sebagai redaktur pertama.

Di awal tahun 1957, Mohamad Isnaeni-- tokoh muda PNI yang sudah duduk sebagai anggota parlemen-- diangkat menjadi pemimpin redaksi Sulindo. Bersamaan dengan itu, Satyagraha diangkat menjadi wakil pemimpin redaksi. Selama gonta-ganti pemimpin redaksi, Satyagraha lah yang menjadi motor penggerak redaksi Sulindo sehari-hari. Tentunya dibantu para wartawan yang jumlahnya sudah cukup banyak.

Selain mengelola Sulindo, Satyagraha juga ditunjuk sebagai pemimpin redaksi Berita Minggu, koran yang hanya terbit setiap hari Minggu. Kantor redaksi dan sebagian awak redaksinya sama dengan Sulindo. Maka, mulailah Satyagraha mengubah Berita Minggu, menjadi koran yang mengangkat berita-berita populer yang terjadi ditengah masyarakat, dengan gaya penulisan populer pula.

"Dengan gaya populer itu, Berita Minggu sangat digemari masyarakat. Oplagnya pernah mencapai 350.000 eksemplar. Sampai-sampai kami kewalahan memenuhi permintaan agen-agen koran. Dengan dana dari Berita Minggu itulah, kami bisa menopang penerbitan Sulindo setiap hari. Bahkan, belakangan bisa mendirikan percetakan sendiri di Kemayoran," kenang Satyagraha.

Pemberitaan Suluh Indonesia dan Berita Minggu tidak selalu sejalan dengan kemauan para pemimpin PNI. Suatu kali, misalnya, Satyagraha ditegur Hardi, SH, Wakil Ketua Umum PNI, karena memuat pendapatnya di halaman dua Sulindo. Sementara pada berita headline di halaman depan, Sulindo memuat pendapat Lucien Pahala, tokoh Presidium GMNI, tentang masalah yang sama dikemukakan Hardi. "Menurut penilaian saya, pendapat Lucien Pahala yang lebih berbobot dan mendekati kebenaran. Karena itu, saya tampilkan di tulisan utama."

Suatu hari, Satyagraha diajak Sajuti Melik ke Istana Bogor, untuk bertemu Bung Karno. Itulah pertemuan pertama Satyagraha dengan Bung Karno. Saat bertemu, Bung Karno langsung bertanya: "Kamu siapa?"

"Satyagraha, Bung. Wartawan Suluh Indonesia dan Berita Minggu."

"Oh… Aku sering baca tulisan kamu di Sulindo, juga Berita Minggu. Apik…apik…," kata Bung Karno lagi.

Lalu, percakapan berlangsung akrab. Bung Karno menanyakan kota asal Satyagraha, yang langsung dijawab: "Blitar, Bung." Mendengar itu, Bung Karno bertanya lebih lanjut tentang keluarganya. Ketika Satyagraha menyebut nama ibunya, Bung Karno langsung menyela: "Oh… kamu anaknya Tuti. Saya kenal keluarga ibu kamu."

Di akhir pembicaraan, Bung Karno bilang: "Mulai besok, dari Suluh Indonesia kamu yang meliput di istana ya."

Sejak itu, Satyagraha pun resmi menjadi "wartawan istana", yang meliput berbagai kegiatan Presiden Soekarno, terutama lawatan ke luar negeri. Ia, misalnya, pernah mengikuti lawatan Bung Karno ke Amerika Serikat, September 1960, untuk berpidato di depan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pidato berjudul "To Build The World a New" itu mendapat sambutan meriah dari peserta sidang.  "Sebagai bangsa Indonesia, saya bangga sekali melihat Bung Karno berpidato berapi-api di depan diplomat seluruh dunia. Apalagi, setelah pidato Bung Karno usai, tepuk-tangan bergemuruh di gedung PBB itu."

Dalam lawatan yang sama, Bung Karno juga menemui Presiden John F. Kennedy. Ketika itu, Bung Karno sedang gencar-gencarnya menggelorakan kampanye pembebasan Irian Barat. "Dengan pintarnya Bung Karno memainkan diplomasi, sehingga Kennedy setuju dilakukan referendum di Irian Barat. Itu dilakukan Bung Karno dengan pendekatan pribadi kepada John Kennedy dan keluarganya."

Dari Amerika Serikat, Bung Karno mengunjungi Kuba. Ketika itu, Fidel Castro baru beberapa tahun berhasil memimpin revolusi yang menjatuhkan rezim Batista. Dalam sebuah pertemuan yang sudah dijadwalkan, Castro terlambat hampir tiga jam. "Begitu bertemu, Bung Karno langsung memarahi Castro. Tapi, momen ini sengaja tidak diekspose media-massa, atas permintaan Bung Karno sendiri," ujar Satyagraha. Yang muncul di media-massa adalah bagaimana Castro meminta nasehat dari Bung Karno tentang bagaimana membangun kemandirian bangsanya.

Saat di dalam negeri, Bung Karno juga akrab dengan para wartawan. Setiap Rabu pagi, Satyagraha dan beberapa "wartawan istana" lain biasa sarapan pagi bersama Bung Karno, di beranda belakang Istana Negara. "Nah, waktu sarapan bersama itulah, para wartawan memberikan masukan tentang berbagai soal-soal kenegaraan kepada Bung Karno. Kadang kami juga berdebat dengan Bung Karno tentang masalah-masalah politik. Menurut pengalaman saya, dalam pertemuan-pertemuan terbatas seperti itu Bung Karno mau menerima kritik tajam sekalipun, bahkan yang menyangkut kehidupan pribadinya. Tapi, kalau dikritik di depan publik ataupun di media-massa, beliau bisa marah."

Meski begitu, kadang pemberitaan Sulindo, membuat Bung Karno tak berkenan. Suatu hari, Satyagraha dipanggil Bung Karno karena tajuk rencana Sulindo yang ditulisnya mengkritik "aksi sepihak" yang marak dilakukan aktivis PKI di daerah-daerah. "Kamu sekarang sudah komunistofobia," semprot Bung Karno.

Tapi, setelah Satyagraha menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan, Bung Karno bisa menerima. Di awal tahun 1960-an itu PNI memang tengah bertarung sengit dengan PKI. Agitasi dan aksi-aksi para aktivis PKI di daerah-daerah, terutama di pedesaan Jawa, banyak membawa korban para lurah dan camat, yang umumnya menjadi anggota PNI.

Dilain waktu, Sulindo dan Berita Minggu memuat tulisan SK Trimurti berjudul "Kambing Tua Makan Rumput Muda". Isinya mengkritik Bung Karno yang menikah lagi dengan Ibu Hartini. Keesokan harinya, Satyagraha dipanggil Kolonel Sugandi, ajudan Bung Karno. "Saya dimarahi, dan diberi surat tidak boleh datang ke Istana Negara selama tiga bulan. Surat itu ditandatangani Kolonel Sugandi sendiri."

Satyagraha menerima larangan tersebut. Selama tiga bulan ia tidak ke Istana Negara. Setelah tiga bulan berlalu, barulah ia meliput lagi ke istana. Saat ketemu, Bung Karno menegur: "Hei Satya, kemana saja kamu, kok lama nggak kelihatan."

"Lo, kan saya dilarang Pak Gandi masuk istana," jawab Satyagraha.

Mendengar itu, Bung Karno langsung memanggil Sugandi. Yang dipanggil membenarkan, tapi tidak menjelaskan mengapa Satyagraha dilarang masuk istana. "Jadi, sebenarnya Bung Karno tidak pernah membaca tulisan Bu SK Trimurti itu. Larangan itu cuma bikin-bikinan Kolonel Sugandi saja."

Dalam Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),Februari 1959, di Lembang, Bandung, Satyagraha terpilih sebagai Sekretaris Jenderal. Ia masih dipercaya menduduki jabatan tersebut dalam Kongres PWI berikutnya di Makassar, Maret 1961, dan di Jakarta, Agustus 1963-- sampai saat Gerakan 30 September 1965 meletus. Selama tiga periode menjadi sekjen, ia mengalami tiga orang Ketua Umum PWI.

Pertengahan tahun 1965, Satyagraha dipanggil Ali Sastroamidjojo, Ketua Umum PNI masa itu. "Saya diperintahkan menjadi wakil ketua panitia peringatan ulang tahun PNI yang jatuh beberapa bulan lagi. Ketua panitianya Bung Surachman, Sekjen PNI. Pak Ali berpesan acara itu harus lebih semarak daripada acara ulang tahun PKI, setahun sebelumnya. Massa yang hadir juga harus lebih banyak dari massa PKI."

Maka, Satyagraha bersama Surachman pun bekerja keras menggalang massa untuk hadir di acara ulang tahun PNI. Lokasi acaranya sudah ditetapkan: Stadiun Gelora Bung Karno. Satyagraha kebagian menggalang lewat media-massa, terutama Sulindo dan Berita Minggu. Sedangkan Surachman dan pimpinan organ PNI, menggalang massa di cabang-cabang PNI di Jawa. Ketika hari H tiba, 4 Juli 1965, massa yang hadir di GBK membludak, sekitar 150.000 orang. Ketika Bung Karno naik ke podium untuk berpidato, kata pertama yang diucapkannya: "Ckkk…ckkk…Bukan main!"

Tapi, naik-turun jalan kehidupan memang tak bisa diduga. Di awal tahun 1965, Satyagraha ditunjuk DPP PNI sebagai pemimpin redaksi Sulindo, menggantikan Mohamad Isnaeni. Saat itu, ia juga masih menjabat Sekjen PWI. Usianya 34 tahun. Satyagraha ditengah puncak karirnya sebagai wartawan.

Tiba-tiba terjadi Peristiwa 30 September 1965, yang menjadi titik balik kehidupannya. Terhitung 3 Oktober, Sulindo dan Berita Minggu, serta sejumlah surat-kabar lainnya, dilarang terbit oleh tentara. Edisi terakhir Sulindo terbit tanggal 2 Oktober 1965.

Dua minggu kemudian, persisnya tanggal 18 Oktober, Satyagraha ditangkap aparat keamanan. "Saat itu saya dan John Lumingkewas (dari Presidium GMNI) mau menjemput Karim DP di tempat persembunyiannya di Bandung. Begitu sampai di tempat itu, ternyata sejumlah tentara sudah ada disana. Akibatnya, saya dan John juga ikut ditangkap." John Lumingkewas adalah Presidium GMNI, sedangkan Karim DP ketika itu menjabat Ketua Umum PWI. Karim DP sempat buron karena namanya tercantum dalam Dewan Revolusi, yang diumumkan Letkol Untung—komandan G 30 S.

Mereka—Satyagraha, Karim DP, dan John Lumingkewas-- pun dibawa dengan jeep tentara ke Jakarta. "John diturunkan di tengah jalan. Saya dan Karim langsung di bawa ke penjara Salemba. Saat itu sudah menjelang tengah malam. Kami ditempatkan di Blok N, masing-masing di satu sel. Karena kelelahan, saya langsung tertidur. Ketika bangun pagi, saya kaget sekali. Waktu mau mandi, saya ketemu Letkol Untung, Kolonel Latief,  dan Nyono. Ternyata Blok N merupakan tempat tokoh-tokoh utama G 30 S ditahan."  

Setelah pemeriksaan intensif selama sebulan, Satyagraha kemudian dipindahkan ke Blok Q, yang kebanyakan tahanannya adalah dari kalangan intelektual dan seniman. Di Blok Q ini mendekam tokoh-tokoh seniman, antara lain: Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Sitor adalah salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia, yang juga Ketua Lembaka Kebudayaan Nasional (LKN)—organ kebudayaan PNI.

Lima tahun Satyagraha mendekam di penjara, tanpa pernah diadili. "Akibatnya, saya tak bisa menafkahi keluarga saya. Istri saya lah yang membanting-tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Alhamdulillah ketiga anak saya pendidikannya cukup bagus."

Sejak ditahan, ia hanya bisa mendengar kabar tentang Bung Karno dari cerita yang didengar dari istrinya saat membesuk, atau dari cerita para sipir penjara. Hingga suatu siang, seorang sipir membawa koran terbitan hari itu yang memberitakan Bung Karno meninggal dunia, sehari sebelumnya: 21 Juni 1970.

Satyagraha mengenangkan hari itu:  "Mendapat kabar itu, saya tak bisa menahan tangis. Bung Karno, tokoh yang saya kagumi dan hormati itu telah wafat. Dan saya tak bisa ikut mengantar jenasah beliau ke tempat peristirahatan terakhir."

Keluar dari penjara, akhir tahun 1970, Satyagraha sempat bekerja di beberapa tempat. Antara lain, ia pernah bekerja cukup lama di PT Ciria Jasa, perusahaan jasa kontraktor yang didirikan Taufiq Kiemas, Guntur Soekarnoputra, bersama sejumlah mantan tokoh-tokoh GMNI.

Kini, di masa senja hidupnya, Satyagraha tinggal sendirian di rumah sederhana, di pinggiran kota Bekasi. Ia tak mau menjadi beban anak-cucunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia mengerjakan jasa penerjemahan buku dan dokumen berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. "Saya tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi dalam hidup saya. Malah, saya bangga sudah pernah memberikan sumbangan pemikiran, lewat Suluh Indonesia,  bagi kemajuan bangsa."  
   
#Imranhasibuan

Rabu, 03 Februari 2021

Menggali Spirit Pancasila Dari Bali , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #9

Menggali Spirit Pancasila Dari Bali 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #9

Menggali Spirit Pancasila Dari Bali

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


SETELAH beberapa hari mengunjungi Sumba dan Ende, NTT, selanjutnya Tim Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengunjungi Bali dengan missi yang sama yaitu menggali berbagai nilai dan laku hidup masyarakat yang bisa dijadikan acuan dalam merumuskan strategi pembudayaan Pancasila.

Seperti halnya saat di NTT tiSaat diskusi Yudha Bantono, sebagai pegiat seni budaya di Bali yang sudah puluhan kali merintis pelaksanaan festival dan menangani berbagai event kebudayaan, memaparkan bahwa festival merupakan cara yang efektif untuk mengali nilai-nilai dan menghidupkan kembali tradisi yang ada di masyarakat Bali.m dipimpin oleh Direktur Pembudayaan Pancasila, ibu Irene Camelyn Sinaga dengan anggota tim diantaranya, ibu Nia Syarifudin, Paul Hendro, Taufiq Rahzen, Zastrouw dan beberapa staf dari BPIP.

Untuk menggali informasi dan praktek hidup yang bisa menjadi contoh dalam pembudayaan Pancasila, tim melakukan kunjungan ke sanggar dan komunitas serta berdiskusi dengan para pelaku seni dan penggerak budaya.

Pada kesempatan ini kami mengunjungi sanggar Paripurna pimpinan Made Sidia, Taman Nusa dan berdiskusi dengan Ranu Dibal (penggerak seni budaya dari komunitas Kitapoleng), Made Sidia (pemimpin sanggar Paripurna), Gung Dhe (Pengggerak budaya dan seniman Bali) serta Yudha Bantono (penggiat Seni budaya dan penggagas berbagai festival di Bali)

Melalui festival, berbagai tradisi yang hampir mati kerena tidak memiliki ruang ekspresi akhirnya bisa bangkit dan hidup kembali. Selain itu, festifval juga memiliki dampak yang signifikan untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Memang kadang terjadi tarik menarik antara kepentingan ekonomi dengan upaya menggali dan menghidupkan kebudayaan, namun hal ini bisa disinergikan secara kreatif.

Made Sidia, menjelaskan keberadaan sanggar Paripurna sebagai sarana merajut keberagaman dan membangun kebanggaan sebagai bangsa. Sanggar yang dirintis dan didirikan oleh Made Sidja, ayah Made Sidia, pada tahun 1990 ini sekarang memiliki 400 orang anggota dari berbagai usia dan profesi.

Sejak kepemimpinan di pegang Made Sidia, sanggar ini sudah menghasilkan berbagai karya seni kreatif dan inovatif yang ditampilkan di dalam maupun luar negeri. Beberapa kali mendapat pernghargaan tingkat internasional.


"Kami melakukan inovasi seni secara kreatif tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisional budaya Bali. Kami justru menjadikan nilai-nilai tradisional sebagai sumber inspirasi dan bahan yang bisa dikembangkan dalam konteks kekinian dan hal ini justru yang menarik masyarakat Internasional. Oleh karena itu sebenarnya kita harus bangga degan tradisi yang kita miliki" Kata Made Sidia semangat.

Hal senada juga disampaikan oleh Ranu Dibal, seorang seniman Bali yang menggali dan menghidupkan spiritualitas Bali. Dibal mengkaji beberapa naskah kuno dan lontar Bali yang mengisahkan pengembaraan tokoh spiritual abad ke-16 bernama Dang Hyang Nirartha. Tokoh ini diyakini sebagai sosok yang berpengaruh dalam membangun kebudayaan dan spiritual di Bali dan Lombok dengan cinta kasih.

Spiritualitas Dang Hyang Nirartha dan beberapa kisah lontar Bali ini dieksplorasi kemudiaan diekspresikan dalam berbagai bentuk karya seni: visual art, videografi, photografi, fine art, design kostum, seni enterteinment dan teater. Untuk merealisasikan missi tersebut Ranuh Dibal bersama Jasmine Okubo mendirikan komunitas Kitapoleng pada tahun 2015.

Dibal menjelaskan, inspirasi komunitas Kitapoleng ini dari filosofi Poleng Bali yang bermakna alam semesta diciptakan dalam kondisi berpasangan dengan sifat yang saling bertolak belakang, seperti hitam-putih, siang-malam, positif-negatif, benar-salah dan sebagainya. Dua hal yang bertentangan ini tidak untuk saling memusnahkan dan menghancurkan tetapi untuk berjalan secara selaras dan seimbang, saling melengkapi untuk mencapai tujuan akhir yang selaras.


Setelah berbagi pengalaman dan informasi mengenai nilai-nilai dan budaya Bali, tim melakukan kunjungan ke Taman Nusa. Taman yang berada di Gianyar merupakan obyek wisata budaya yang mecerminkan keberagaman Nusantara.

Berbagai indormasi digambarkan dalam bentuk narasi maupun bangunan. Tata ruang dan arsitektur ditata secara artistik dan natural, menyatu dengan alam dengan pemandangan yang indah.

Di lahan seluar 15 hektar itu dibangun sekitar 60 rumah adat tradisional yang mewakili suku-suku yang ada di Indonesia. Selain itu juga dibangun beberapa bangunan yang mencerminan perjalanan peradaban Nusantara. Dimulai dari jaman pra-sejarah dengan desain alam yang primitif, kemudian zaman perunggu, era kerajaan, masa kolonial sampai era kemerdekaan dan kekinian.

Di taman Nusa ini juga ada gedung pertunjukan, perpustakaan, ruang seminar dan museum. Kami melihat di sini merupakan tempat ideal untuk melakukan pendidikan kebangsaan dan pembudayaan Pancasila bagi generasi muda.

Tapi sayang, tempat ini hancur dan tidak terawat karena Pandemi. Bangunan yang artistik dan penuh makna ini lapuk dan dan ditumbuhi rumput liar karena tidak terawat. "Biasanya ribuan orang mengunjungi tempat ini dalam seminggu, tapi sejak pandemi Covid-19, hampir tidak ada orang yang mengunjungi tempat ini" demikian kata petugas yang masih setia menjaga tempat ini.

Batin kami semakin teriris saat melihat tempat pertinjukan dan galeri bertaraf internasional itu rusak dan bocor di beberapa tempat. Lebih teriris lagi saat melihat beberapa koleksi benda antik yang ada dimuseun teronggok dan lapuk karena tidak terawat. "Pandemi telah membuat kami harus berangkat dari minus, bukan hanya dari nol" kata penjaga galeri.

Hari berikutnya kami kembali berdiskusi untuk merumuskan strategi pembudayaan Pancasila berdasar pengalaman para seniman dan pelaku budaya Bali. Penulis berkesempatan memandu acara diskusi.

Paul Hendro, seorang pelukis, menyatakan perlunya membuka ruang kreasi yang bisa membuat semua orang bisa berinteraksi secara bebas dan nyaman. Dengan cara ini berbagai perbedaan akan dapat didialogkan secara alamiah sehingga nilai-nilai Pancasila akan bisa diaktualisasikan dan dipraktekkan dalam kehiduan nyata.

Ada hal menarik yang disampaikan Gung Dhe, seorang penggerak sosial dan aktivis kebudayan Bali yaitu pentingnya menggali khazanah kebudayaan dan tradisi Nusantara sebagai sumber kreatifitas untuk pembudayaan Pancasila.

Menurut Gung Dhe, ada banyak konsep dari ajaran leluhur yang bisa dikembangkan,seperti "desa, kale, patre".
"Desa" mencerminkan dimensi ruang yang membentuk kesadaran spatial. Artinya aktualisasi Pancasila harus memperhatikan kodisi ruang Indonesia yang beragam. "Kale" berarti waktu, artinya pembuadayaan Pancasila harus memperhatikan dimensi waktu yang selalu berubah. "Patre" adalah keadaan sebagai cerminan dari ruang dan waktu. Ketiga dimensi ini harus selalu diperhatikan dan menjadi kesadaran bagi setiap pelaku pembudayaan Pancasila.

Selanjutnya Gung Dhe menjelaskan konsep "langon, ingon dan angon". "Langon" adalah sikap sadar, eling, mengenali diri dan alam; "Ingon" adalah berarti menguatkan kembali (revitalisasi); "angon" berarti mengelola atau berkarya.

Ketiga konsep ini merupakan siklus untuk menjaga keselarasan hidup. Agar hidup ini bisa damai maka seseorang harus selalu ingat, eling dengan cara mawas diri. Dari sini akan timbul kekuatan diri melakukan revitasisasi yang diwujudkan dalam berbagai karya untuk mengelola kehidupan.

Untuk bisa melakukan hal tersebut perlu mengkaitkan antara situs, ritus dan status. Selama ini terjadi hubungan yang terpisah antara situs dan status. Situs hanya menjadi benda mati yang tanpa makna, karena kehilangan ritus. Sebaliknya ritus yang dilakukan tidak berbasis pada situs yang ada, akibatnya kehilangan spirit dan ruh.

Akibat hubungan yang terpisah ini, maka situs dan status menjadi kehilangan status, tidak memiliki legitimasi.

Pancasila akan menjadi situs mati jika tidak memiliki ritus yaitu laku hidup yang mencerminkan nilai-nilai dan spirit Pancasila. Jika sudah demikian maka Pancasila akan kehilangan status karena hanya menjadi kata-kata, atau dilindas oleh ritus-ritus yang sama sekali tidak tertaut dengan situs (Pancasila).

Jika dicermati konsep-konsep ini berbentuk tiga dimensi yang menyatu dan berkelindan. Konstruksi ini sebangun dengan konsep "tri hita krana", suatu konsep spiritual dan kearifan lokal yang menjadi falsafah hidup masyarakat Bali yang bertujuan membentuk keselarasan hidup yang terbangun atas hubungan yang seimbang antara tiga aspek dalam kehidupan yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan sesama manusia.

Dari perbencangan ini kami melihat betapa banyak kearifan lokal warisan leluhur yang bisa kita gali untuk dijadikan sumber pengetahuan dalam menjawab realitas kekinian.

Konsep tri hata karana yang tercermin dalam pola tiga demensi yang berkelindan ini layak digali lebih dalam agar bisa diaktualisasikan untuk dijadikan pijakan dalam menyusun strategi pembudayaan Pancasila. (Tamat)



Selasa, 02 Februari 2021

Pesantren Walisanga Ende; Menanamkan Toleransi dan Moderasi Sejak Dini , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #8

Pesantren Walisanga Ende; Menanamkan Toleransi dan Moderasi Sejak Dini 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #8

Pesantren Walisanga Ende; Menanamkan Toleransi dan Moderasi Sejak Dini

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


DIPERLUKAN waktu sekitar 20 sampai 30 menit dari pohon sukun bersejarah tempat Bung Karno merenung untuk sampai di lokasi Pesantren Walisanga. Lokasinya agak di pinggir kota, berada di lereng bukit dengan jalan sempit dan berliku, bahkan di beberapa ruas masih berupa jalan tanah belum diaspal.

Saya membayangkan kalau musim hujan jalan itu akan sulit dilewati karena berlumpur. Bangunan pesantren yang terletak di bawah kaki gunung Meja di Kecamatan Ende Selatan ini sudah lumayan bagus, ruang kelas dan asrama sudah tergolong layak. Suasana alam yang indah dengan latar belakang panorama gunung Meja yang menawan, membuat pesantren ini semakin menarik.

Kami datang disambut hangat oleh seluruh santri dan pengasuh. Setelah dijamu makan siang, kami disuguhi tarian yang dimainkan oleh para santri. Mereka menampilkan tarian yang baru saja diajarkan oleh mbak Wina, salah seorang anggota tim BPIP yang kebetulan pelatih tari.


Setelah itu kami berdialog dengan pengasuh dan para santri. Kami menggali pengalaman hidup dan praktek berpancasila yang dilakukan oleh para santri dan pengasuh pesantren.

Pendirian Pesantren Walisanga Ende dirintis oleh KH. Mahmud Eka, seorang pengamal thareqat Qadiriyah-Naqsabandiyan. Beliau merintis pesentren ini bersama sahabatnya yang kebetulan ayah kandung budayawan Taufiq Rahzen.

Diceritakan oleh bu Nyai Halimah, salah seorang putri alm. Mahmud Eka yang sekarang menjadi pimpinan pesantren, ada berbagai hambatan saat merintis berdirinya pesantren ini.

Dengan perasaan haru bu Nyai Halimah mencertakan bagaimana ayahnya, KH. Mahmud Eka mendapat fitanah keji sampai acaman fisik saat merintis berdirinya pesantren yang mengajarkan Islam yang damai dan moderat. Pernah difitnah memakan uang yayasan, dituduh menjual agama sampai acaman fisik mau dibunuh dan disiksa.

"Karena tidak tahan menerima tekanan dan firnah, ibu dan anak-anak pernah meminta abah berhenti merintis pesantren" demikian bu nyai Halimah berceritaa pada kami.

"Tapi semua itu tak menyurutkan niat abah untuk terus berjuang merintis pendirian pesantren ini, hingga pelan-pelan akhirnya pesantren berkembang seperti sekarang ini" Tambahnya.

Dsebutkan oleh Nyai Halimah, meski banyak yang menentang, tapi banyak juga pihak yang mendukung pendirian pesantren ini, misalnya para pastor yang ada di biara Santo Yosef dan beberapa seminari.

Yang menarik dari pesantren Walisanga Ende ini adalah praktek hidup toleransi dan moderasi beragama. Di pesantren ini, moderasi dan toleransi tidak diajarkan sebagai pengetahuan atau norma-nomra tekstual, tetapi dipraktekkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pater yang ikut membantu menjadi tenaga pengajar dan tinggal di pesantren.

Kami sempat bertemu dengan pater Pras, sebut saja namanya begitu, yang sudah bertugas di pesantren Walisanga selama hampir 1,5 tahun. Kepada kami peter Pras menjelaskan bahwa dia berasal dari seminari yang ada di Manggarai. Dia bertugas sejak 13 Juli 2019, menggantikan seniornya yang sudah menyelesaikan masa bakti pengabdian di pesantren ini.


Waktu pertama kali bertugas ke pesantren dia sempat shock, karena sama sekali belum bisa membayangkan situasi pesantren. Apalagi saat itu dunia medsos sangat serem menggambarkan kondisi pesantren.

"Info-info di medsos tentang pesatren yang saya baca di medsos membuat saya semakin shock" demikian dia bercerita pada kami.

"Ini terjadi karena para senior yang pernah bertugas di pesantren tidak memberi informasi apapun kepada kami. Bahkan menunjukan tempat pesantren inipun mereka tdak diperbolehkan. Kami harus cari sendiri dimana pesantren ini berada" kisahnya lebih lanjut.

"Tapi setelah kami berada di pesantren, semua bayangan dan ketakutan itu hilang. Para ustadz, pengasuh dan santri di sini menerima kami secara terbuka dan ramah. Kami diperlakukan secara baik, tak ada sekat apalagi perbedaan, di sini kami sudah seperti saudara" demikian Fater Pras menceritakan pengalamannya.

Di pesantren ini Pater Pras melatih kesenian, terutama musik dan vocal. Selain itu dia juga mengajari berbagai ketrampilan, seperti beternak lele, bertani sapai membatik dan menenun. Berbagai kegiatan ketrampilan ini sangat bermanfaat, tidak hanya meningkatkan soft skill para santri tetapi juga bisa menopang ekonomi pesantren.

Misalnya, selama pandemi Covid-19 yang menurunkan pendapatan pesantren dari donatur, maka hasil beternak lele dan beberapa produk kerajinan pesantren bisa menjadi penopang kebutuhan santri.

Para pater yang bertugas di pesantren Walisanga ini tidak hanya membantu pendidikan untuk peningkatan skill dan pengetahuan para santri, tetapi juga di bidang spiritual dan ritual. Misalnya, para pater ini juga bertugas membangunkan para santri untuk shalat tahajut dan shalat subuh. Menyediakan air wudlu dan kebutuhan ibadah lainnya.

"Saat para santri shalat, kadang kami melakukan ibadah di kamar atau di serambi pesatren dekat masjid" demikian pater Pras bercerita dengan senyum bahagia.

Secara fisik dan tampilan tak ada perbedaan antara para pengasuh dan santri dengan pater. Penulis sendiri tidak mengenali mana pater dan mana santri, sehingga sempat bertanya pada pengasuh mana pater yang ikut mengajar di pesantren. Kemudian berdirilah sosok yang pakai gamis putrih, menggunakan iket kepala batik. Tampilannya sudah seperti kyai dan ustadz, kemudian memperkenalkan diri sebagai pater.

Selanjutnya bu Nyai Halimah menjelaskan bahwa pesantren ini sering kekurangan logistik, maklum hampir semua santri yang ada di pesantren Walisanga ini adalah gratis, hanya beberapa orang yang mampu saja yang membayar, itupun tidak seberapa jumlahnya, karena mayoritas santri dari kalangan bawah.

"Kami sering pusing dan sedih ketika cadangan logistik menipis dan belum ada kiriman dari donatur. Pada saat seperti ini saya hanya bisa berdo'a dan memohon kepada Allah untuk membukakan pintu rejeki" cerita bu Haiman sambil menahan air mata.

"Pada saat seperti itu, seringkali tiba-tiba datang kiriman beras dan kebutuhan lain dari seminari, biara Santo Yosef dan gereja untuk para santri", kisahnya dengan suara yang makin serak menahan haru.

Ada kisah menarik dari bu Nyai Halimah, banyak orang tua santri yang selama anaknya mondok dipesantren belum pernah sekalipun datang ke pondok menemui pengasuh. Dia sering sedih saat melepas santri yang telah lulus tapi orang tuanya belum pernah sekalipun datang ke pondok.

"Jangankan ucapan terima kasih, datang ke pondok sekalipun belum pernah. Tapi saya maklum, karena untuk datang ke sini diperlukan biaya, sedangkan mereka rata-rata dari keluarga tidak mampu" Demikian Nyai Halimah menuturkan.

Ketika ditanya, bagaimana para santri bisa sampai ke pesantren sementara orang tua mereka tidak pernah mengantarkan apalagi menyerahkan ke pihak pesantren? Menurut bu Nyai Halimah, para santri yang tidak diantar orang tuanya itu biasanya datang diantar teman yang pernah nyantri di pesantren ini, atau teman yang tahu pesantren ini. Santri yang seperti inilah yang biasanya tidak pernah dikunjungi orang tuanya sampai mereka lulus.

Selain menanamkan toleransi dan moderasi beragama, pesantren Walisanga ini juga menjadi contoh kepemimpinan perempuan di kalangan pesantren. Sebenarnya ada beberapa saudara lelaki yang secara keilmuan layak memimpin pesantren, karena mereka jebolan pesantren terkenal di Jawa, seperti pesantren Ploso Kediri, Liboyo, Gontor dan lain-lain.

"Tapi entah mengapa saudara saya yang lelaki tidak ada yang kuat memimpin pesantren ini, sehingga akhirnya saya yang perempuan, dan kebetulan bukan alumni pesantren, harus meneruskan perjuangan orang tua mengelola pesantren ini" demikian bu nyai Haimah mengisahkan.

"Meski hanya dengan kemamapuan apa adanya, tapi alhamdulillah pesantren bisa berkembang seperti ini. Saya cukup bersyukur dengan keadaan ini" lanjutnya

Secara fisik, bangunan pesantren ini memang sudah cukup lumayan. Ada gedung sekolah permanen, dua unit bangunan rusunawa empat lantai untuk asrama santri, masjid dan perpustakaan. Bahkan di pesantren ini ada museum Pancasila yang menyimpan beberapa benda, buku dan naskah yang terkait dengan Pancasila. Keberadaan museum Pancasila ini atas prakarsa dan sumbangan dari budayawan Taufiq Rahzen.

Terus terang saya merasa kagum pada pesantren ini, yang mampu menanamkan nilai-nilai toleransi dan moderasi beragama sejak dini melalui laku hidup. Pesantren ini mampu menempatkan aspek teologis dan sosiologis beragama secara tepat.

Di pesantren ini aspek teologis beragama ditempatkan dalam ruang batin setiap individu, yang dijaga dan dirawat secara baik oleh masing-masing individu. Sedangkan aspek sosial ditempatkan di ruang publik yang bisa dinikmati secara bersama-sama sebagai ekspresi dan manifestasi spirit teologis dari masing-masing pemeluk agama.

Dengan cara ini tidak terjadi benturan teologis dari penganut agama yang berbeda dalam ruang sosial.

Pesantren Walisanga Ende telah mengajarkan bangsa ini bagaimana menjaga toleransi dan moderasi bergama secara indah, karena nilai-nilai itu ditanamkan sejak dini dengan cara-cara yang indah dan beradab. Di pesantren ini kami melihat Pancasila begitu indah dan nyata. (Besambung)



Para Inspirator Penggalian Pancasila di Ende , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #7

Para Inspirator Penggalian Pancasila di Ende
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #7

Para Inspirator Penggalian Pancasila di Ende

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


WAKTU sudah menunjukan jam 13.00 kami segera meninggalkan rumah pengasingan Bung Karno menuju Biara Santo Yosef Ende, tempat bersejarah yang memiliki peran penting dalam proses penggalian Pancasila.

Tiba di biara kami disambut hangat oleh Peter Henri Darosj, salah seorang pengelola Biara. bangunan biara ini berada di puncak bukit kecil dengan suasana yang teduh dan nyaman. Ada 45 tangga untuk bisa mencapai bangunan tersebut.

Di ujung tangga Peter Darosj menyapa kami dengan ramah, sambil berdiri dia menjelaskan bahwa dahulu Bung Karno selalu melawati tangga ini ketika mengunjungi Biara Santo Yosef. Dan biasanya di tempat ini pula Soekarno disambut para pastor yang menjadi sahabatnya.


Rombongan diajak keliling melihat beberapa tempat yang ada di kompleks biara yang sering ditempati Bung Karno, seperti serambi tempat Bung Karno duduk merenung memandang laut (sekarang tempat ini diberi nama Serambi Bung Karno. Di sini dibangun patung Bung Karno dalam keadaan duduk di kursi menghadap ke laut), ruang baca Bung Karno dengan beberapa koleksi buku yang sering di baca, ruangan tempat ngobrol dan berdiskusi dengan para pastor.

Setelah berkeliling melihat tempat bersejarah di Biara Santo Yosef, kami berkumpul di serambi untuk mendengarkan penjelasan Pater Henri Darosj. Banyak hal menarik dan data-data sejarah penting yang disebutkan oleh Peter Henri.

Beberapa hal menarik yang sempat penulis catat diantaranya penjelasan Pater Henri mengenai kedekatan Soekarno dengan para Pastor dan Bruder yang ada di Biara Santo Yosef Ende. Disini Bung Karno berkesempatan mengenal lebih dalam agama Katolik dan menggali nilai-nilai kemanusiaan dengan bertukarpikiran dengan para Pastor, terutama Pater Hujtink dan Pater Bouma.

Oleh kedua pastor ini Bung Karno diberi akses seluas-luasnya untuk membaca seluruh koleksi buku yang ada di perpstakaan Biara. Bisa dikatakan Bung Karno merupakan tamu tetap kedua pastor tersebut, sehingga menjadi sahabat akrab sampai akhir hayat.

Pertemuan Bung Karno dengan para Pastor di biara Santo Yosef merupakan pengobat dahaga intelektual Bung Karno selama berada di pengasingan.

Hari-hari pertama di pengasingan mengalami stress. Disebutkan Henri Darosj, Bung Karno mengibaratkan dirinya seperti seekor brung elang yang sudah terpotong sayapnya. Seekor burung perkasa yang kini tidak berdaya. Semangat yang luruh ini kembali bangkit ketika menemukan sumber pengetahuan dan teman bertukar pikiran di biara Santo Yusuf. Di tempat ini Soekarno membaca tiga buku Ensiklij yang berisi tentang peri kemanusiaan, kesetaraan dan buruh

Dalam kesempatan ini Peter Handri banyak mengungkap kisah menarik hubungan Bung Karno dan kedua pastor tersebut, mulai dari sisi intelektual, kemanusiaan sampai mistis.Diantaranya ramalan Pastor Huijtink bahwa Soekarno akan jadi presiden. Mengingat peran penting biara Sato Yusuf dalam kehidupan dirinya, saat menerima anugrah Doktor Honoris Causa Soekarno pernah menyebut diriya berhutang budi pada Santo Yosef Ende.

Selanjutnya, Peter Hendri menjelaskan peran para Pastor dalam mendukung gerakan kebudayaan Bung Karno. Dijelaskan, ketika Soekarno kebingungan untuk mencari tempat pementasan drama tonilnya, maka Pater Huijtink bersedia membantu Bung Karno dengan menyediakan gedung Immaculata yang merupakan gedung paroki katedral untuk tepat pentas.

Di tempat inilah seluruh naskah tonil Bung Karno yang berjumlah 13 naskah bisa dimainkan. Judul naskah-nasah tersebut adalah Dokter Setan, Rendo, Rahasia, Kelimutu, Jula Gubi,Kut Kubi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.

Para pastor ini tidak hanya meminjami gedung Immaculata menjadi tempat pentas tetapi juga menyediakan perlengkapan produksi lainnya, seperti kursi, listrik sampai cat untuk untuk mewarnai layar sandwara. Bahkan percetakan untuk mencetak tiket pertunjukan dicetak di percetakan Arnoldus, milik para pastor dan bruder Serikat Sabda Allah (SVD), satu-satunya percetakan yang ada di Ende dengan paralatan yang paling canggih pada saat itu.

Selain bercerita tentang hubungan para Pastor Biara Santo Yosef dengan Bung Karno dan perannya mendukung gerakan dan pemikiran Bung Karno, Pater Henri bercerita tentang peran seseorang maupun masyarakat dalam proses penggalin Pancasila di Ende.

Salah satunya adalah cerita Henri tentang seorang Tiong Hoa bernama Ang Hoo Lian. Dia adalah seorang pedagang yang selalu berlayar dari Surabaya-Ende. Melalui saudagar Cina inilah Soekarno berkomunkasi dengana teman-teman seperjuangannya di Jawa. Sekarno tidak pernah kirim surat melalui pos, terutama surat-surat yang sifatnya khusus karena khawatir disensor oleh pihak Belanda.

Untuk menghindari kecurigaan bihak Belanda, surat-surat itu dimasukkan ke dalam keranjang sayur.

"Di ende, surat-surat tersebut diserahkan kepada Sian Tik, pemilik toko De Leeuw untuk selanjutnya dibawa oleh Ang Hoo Lian. Di waktu sore Bung Karno sengaja datang bertamu ke toko tersebut untuk mengambil surat-surat dari para temannya di Jawa sekaligus mengantar surat yang telah ditulisnya utuk dikirim ke Jawa. Sering kali surat-surat tersebut diantar oleh orang Tiong Hoa tersebut ke rumah Bung Karno secara sembunyi-sembunyi" demikian penjelasan Peter Henri.

Kelompok lain yang berjasa dalam membangun proses kreatif Bung Karno selama berada di pengasingan adalah para anggota dan pemain klub tonil Kelimutu, suatu kelompok sandiwara yang didirikan oleh Bung Karno di Ende.

Menurut paparan Peter Henri, jumlah anggota dan pemain klub tonil ini ada 47 orang, diantara adalah Joe Bara, Roslan Otto, Matheus dan Ibrahima, Darham dan Riwu. Para anggota klub ini terdiri dari rakyat biasa, ada nelayan, montir, pedagang dan petani. Mereka ini tidak saja beragam dari latar belakang sosial dan profesi, tetapi juga beragam keyakinan dan agama.

Para anggota klub tonil ini tidak sekedar menjadi pemaian sandiwara, tetapi merupakan komunitas yang memiliki peran penting dalam menumbuhkan proses kreatif Bung Karno selama berada di pengasingan.

Permainan sandiwara tonil tidak sekedar pertunjukan hiburan, tetapi menjadi mata rantai yang tak terpisahkan dari gerakan sosial dan pemikiran Bung Karno dalam menggali Pancasila.

Paparan Peter Hendri Darosj ini menunjukkan pada kita betapa banyaknya kelompok masyarakat yang turut andil dalam proses penggalian Pancasila ini. Mulai rakyat jelata, para pastur yang notabenenya orang asing bahkan saudagar Tiong Hoa, memiliki peran besar dalam perenungan Pancasila yang dilakukan Soekarno

Di Ende Soekarno tidak hanya menjadi orang yang matang berpikir, tetapi juga orang yang kuat beragama. Melalui perjumpaan dengan berbagai kalangan masyarakat inilah spirit religiusitas Bung Karno menjadi semakin dalam, lapang dan kokoh. Di sini Bung Karno semakin memantapkan gagasannya bahwa dalam pemahaman dirinya sebagai seorang Muslim tidak ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme.

Bahkan secara tegas Soekarno menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan Nasionalisme yang luhur. Jika ada pandangan yang mempertentangkan Islam dan Nasionalisme maka terjadi kesalahan dalam menafsirkan Islam. Islam hanya bertentangan dengan nasionalisme ketika nasionalisme itu bersifat sempit, yaitu nasionalisme yang membuat satu bangsa membenci bangsa yang lain atau memecah belah (provinsialisme) (Henri Darosj Dkk, 2015;71).

Banyaknya jejak sejarah tentang andil kelompok masyarat dalam proses penggalian Pancasila di kota Ende, mengkorfirmasi pernyataan Soekarno:

"Di kota ini (Ende) kutemukan lima butir mutiara dan di bawah pohon sukun aku menemukannya"

Penemuan lima mutiara ini terjadi karena Ende merupakan tempat pematangan diri dan pemikiran dengan cara memperluas pengetahuan dan memperdalam imannya terhadap Islam. Dan di sisi lain Bung Karno memperdalam dan memperluas pengetahuannya terhadap agama Kristen melalui pergaulannya dengan para Pastor.

Selain itu, di Ende ula Soekarno bertemu dengan masayrakat yang beragam sehingga memperkaya pengalaman batin dalam merawat keberagaman Nusantara.

Tak terasa lebih dua jam kami mendengarkan penjelasan Peter Henri yang menarik karena banyak informasi yang menurut kami baru dan otentik, seperti peran penting seorang saudagar Tiong Hoa dan para pemain klub sandiwara tonil.

Tapi kami harus meneruskan perjalanan mengunjungi pohon Sukun tempat Bung Karno merenung, sehingga menghasilkan lima butir mutirata yang kemdian disebut Pancasila. (Bersambung)



Senin, 01 Februari 2021

Jejak-Jejak Pancasila di Rumah Pengasingan , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #6

Jejak-Jejak Pancasila di Rumah Pengasingan 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #6

Jejak-Jejak Pancasila di Rumah Pengasingan

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


SEKITAR  jam 17.00 WIT kami mendarat di bandara H. Hasan Aroeboesman Ende. Cuaca sedikit mendung, sehingga matahari yang sebentar lagi tenggelam makin terlihat redup karena terhalang awan. Angin senja bertiup sepoi-sepoi menebar udara sejuk membuat suasana sore itu menjadi terasa nyaman.

Bandara yang terkenal ekstrim itu sama sekali tidak menunjukkan kesan menyeramkan karena tertutup oleh keindahan pantai dan pegunungan yang ada di sekitarnya. Karena sudah berada dipenghujung senja, rombongan langsung menuju hotel untuk melakukan kordinasi acara besuk, dilanjutkana dengan istirahat.


Pagi hari rombongan menuju rumah pengasingan Bung Karno yang terletak di di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja, di tengah kota Ende. Di rumah ini kami melihat beberapa koleksi Bung Karno yang masih tersisa, seperti lukisan, naskah sandiwara tonil, beberapa perabot rumah tangga dan beberapa lembar kain.

Kami memasuki kamar-kamar tempat Bung Karno kerja, beristirahat dan bercengkrama dengan keluarga. Bung Karno menempati rumah pengasingan di Ende ini selama empat tahun, sembilan bulan dan empat hari (mulai tanggal 14 Februari 1934 sd 1938.


Selama di pengasingan di Ende, Bung Karno beserta istri (Inggit Ganarsih), mertuanya (Ibu Amsi) dan kedua anak angkatnya (Ratna Juami dan Kartika)menempati rumah sederhana milik Haji Abdullah Ambuwaru.

Setelah melihat-lihat beberapa benda koleksi Bung Karno dan berkililing melihat suasana rumah pengasingan, rombongan melakukan diskusi mengenai Pancasila. Penulis menjadi barasumber bersama Saeful Arif, tenaga Ahli MPR dan Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP).

Diskusi dimaksudkan untuk menggali jejak-jejak Pancasila dan merekosntruksi pemikiran Bung Karno tentang Pancasila. Sebagaimana kita ketahui, ide tentang Pancasila itu tercetus dalam perenungan Soekarno saat diasingkan di Ende. Oleh karena itu ditempat pengasingan ini kami, tim BPIP mencoba menggali dan menghidupkan kembali gagasan dan spirit Bung Karno tentang Pancasila.

Dalam diskusi ini penulis menyampaikan bahwa gagasan Pancasila Bung Karno merupakan wujud dari pola pikir dan gagasan intelektual genuin yang khas Nusantara, yaitu mempertautkan dimensi sepiritual dan rasional.

Sebagai seorang intelektual, Soekarno menyerap berbagai konsep dan pemikiran yang rasional, seperti sosialisme, kapitalisme, nasionalisme dan berbagai gagasan besar dunia lainnya. Namun sebagai seorang Muslim yang hidup dan didik dalam konstruksi budaya Nusantara, rasionaitas saja tidak cukup, perlu dilengkapi dengan spiritualitas.

Untuk mengembangkan kekuatan dan kemampuan spiritualitas Bung Karno berguru pada beberapa ulama, para leluhur dengan menjalani laku spiritual.

Genealogi sosial-budaya dan ideologis Bung Karno memang sangat beragam. Dia memperoleh kebudayaan Jawa dan mistik dari neneknya. Dari Bapaknya Bung Karno memperoleh theosofisme dan Islam. Dari ibunya dia belajar Hinduisme dan Budhisme. Dari Sarinah dia mendapatkan humanisme. Dari Cokroaminito dia mendapatkan sosialisme dan Islam. Selanjutnya dari pergumulan dengan teman-teman seperjuangan Bung Karno mendapatkan nasionalisme.

Selain itu Bung Karno juga mendalami spiritualitas kepada Sosrokartono, KH. Muhammad Yusuf, ulama dari Betawi, Dato' Mujib, ulama Betawi keturunan Makasar dan KH. Hasyim Asy'ari. Para ulama ini tidak hanya mengajari Islam pada Bung Karno tetapi juga ilmu-ilmu spiritual. Inilah yang membuat pemahaman keislaman Bungkarno menjadi lebih luas dan substansial.

Di tempat pengasingan di Ende inilah Bung Karno melakukan rekosntruksi dan integrasi antara kekuatan rasional dan spiritual sehingga tercipta butir-butir pemikiran yang kemudian disebut Pancasila. Bisa dikatakan bahwa Ende adalah rahim tempat pembuahan Pancasila terbentuk.

Karena di Ende inilah terjadi pertemuan antara serbuk sari dan putik, antara ovum dan sperma, antara rasionalitas dan spiritualitas. Inilah yang menyebabkan Pancasila tidak bisa dipahami secara rasionala semata, atau spiritual saja. Memahami dan menerapkan Pancasila harus dengan pendekatan rasional dan spiritual.

Saeful Arif menjelaskan fase-fase penggalian Pancasila yang dilakukan oleh Bung Karno.

Fase pertama adalah pertemuan Bung Karno dengan pemikiran sosialisme Islam, ketika "mondok" di Surabaya dan bergumul dengan para aktivis Sarekat Islam pada tahun 1918 dibawah bimbingan HOS Cokroaminoto.

Fase kedua, ketika dia belajar di Bandung tahun 1920-1930. Di sini dia bertemu dengan pemikiran Nasionaliseme, terutama ketika dia berdiskusi dengan tiga serangkai; Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantoro dan Tjipto Mangunkusumo.Dari sini Soekarno berpikir bahwa Nasionalisme adalah ideologi yang menyatukan semua ideologi yang ada.

Sejak saat itu dia menjadi pemikir yang ingin menyatukan ketiga ideologi besar dunia; Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme. Dari sini benih-benih Pancasila mulai terbentuk. Arif secara tegas menyatakan mencari titik temu berseteruan ketiga ideologi besar inilah yang menjadi latar epistemik Pancasila.

Mengutip Yudi Latief, Arif menyatakan bahwa Pancasila muncul karena terjadinya hubungan saling kawin mawin tiga ideologi besar dunia; Islamisme, Nasionalisme dan Maxisme. Dengan kata lain, Pancasila tidak ada jika tiga ideologi besar dunia itu tidak saling kawin mawin.

Upaya mengintegrasikan ketiga ideologi besar dunia yang dilakukan Bung Karno, melahirkan berbagai gagasan besar, misalnya gagasan nasionalisme sebagai perkakas Tuhan, Nasionalisme sebagai bagian dari internasionalisme yang bertujuan untuk pemuliaan martabat manusia. Semua ini menjadi spirit yang diejawantahkan dalam gerakan politik Bug Karno. Berbagai pemikiran inilah yang menjadi benih-benih Pancasila.

Ketika di Ende kepekaan Soekarno tumbuh. Dalam pengasingan yang tidak bisa melakukan aktivitas politik, Soekarno memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi dan perenungan. Di sinilah kepekaan spiritual dan kebudayaan Soekarno tumbuh.

Dalam suasana yang tenang dan hening, muncullah nilai ke-Tuhanan melengkapi butir-butir pemikiran yang sudah dirumuskan terlebih dahulu. Dengan ditemukannya nilai keTuhanan, maka lengkaplah lima nilai menjadi Pancasila. Tanpa ditemukannya nilai keTuhanan maka tidak akan ada Pancasila.

Seperti terbawa oleh aura yang ada di rumah pengasingan Bung Karno, suasana diskusi saat itu terasa enjoy dan asyik. Ada spirit yang mendorong dan menggerakkan para peserta untuk terus berdiskusi menggali pemikiran Bung Karno tentang Pancasila.

Sama sekali kami tidak merasa bahwa waktu untuk diskusi sudah habis dan kami harus bergeser ke tempat lain. Sehingga kami terpaksa harus mengakhiri diskusi dan meninggalkan rumah pengasingan Bung Karno yang tidak saja menyimpan kenangan sejarah tetapi juga sarat dengan makna.

Sekitar pukul 13.00 rombongan Badan Pmbinaan Ideologi Pancasila (BPIP) meninggalkan rumah sejarah tempat pengasingan Bung Karno untuk melanjutkan acara di tempat lain. Ada perasaan haru dan berat saat meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu.

Perasaan itu sulit terucapkan dan terkatakan. Tapi satu hal yang bisa ku katakan bahwa aku mesti kembali ke tempat ini untuk menggali dan menyibak kembali jejak-jejak Pancasila yang masih tersisa. Karena dari sini route pembudayaan Pancasila akan bermula. (Bersambung)



Pesona Budaya Desa Adat Ratenggaro dan Perokodi , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #5

Pesona Budaya Desa Adat Ratenggaro dan Perokodi 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #5

Pesona Budaya Desa Adat Ratenggaro dan Perokodi

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


Hari terakhir di Sumba kami berkesempatan mengunjungi desa adat Ratenggaro. Desa adat ini terletak di desa Umbu Ngedi, Kecamatan Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya, berjarak sekitar 56 km dari Tambolaka, Ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya.

Jalan menuju Ratenggaro sudah lumayan mulus, hanya beberapa ruas yang rusak dan bergelombang. Meskipun jalanan relatif mulus, namun karena sempit dan berliku, maka jarak yang tidak begitu jauh itu ditempuh dalam waktu 1,5 sampai 2 jam dengan kendaraan elf.

Secara etimologis (bahasa) Ratenggaro berasal dari dua kata; rate yang berarti kuburan dan garo yang berarti orang Garo. Menurut keterangan keketua adat, desa Ratenggoro merupakan tempat penguburan orang yang mati terbunuh karena perang antar suku.

Desa adat Ratenggaro laksana cagar budaya, karena di desa itu masyarakatnya masih memegang teguh adat leluhur dengan berbagai ritual dan tradisinya. Ekspresi adat ini terlihat dalam bangunan ruah yang seperti joglo Jawa namun atapnya menjulang tinggi hingga belasan meter terbuat dari jerami.

Ketinggian atap mencerminkan status sosial pemiliknya.Selain itu, tingginya atap rumah juga menjadi simbol penghormatan terhadap arwah para leluhur.

Rumah adat di Ratenggaro disebut Uma Kelada. Bangunan rumah adat Sumba seperti rumah panggung. Terdiri dari empat tingkat dengan fungsi yang berbeda-beda. Tingkat paling bawah berfungsi sebagai tempat hewan ternak.

Tingkat kedua sebagai tempat tinggal pemilik dan dapur tempat memasak. Di bagian atas tempat masak terdapat kotak tempat menyiman benda-benda keramat.

Tingkat ketiga berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen. Tingkat keempat tempat menyimpan tanduk kerbau sebagai simbol kemuliaan. Selain berfungsi secara magis, tanduk kerbau juga memiliki fungsi estetis yaitu ornamen untuk mempercantik bangunan rumah. Oleh karena itu, tanduk kerbau ini biasanya diletakkan di tempat yang paling strategis agar bisa dilihat.

Menurut kepercayaan masyarakat Ratenggaro, ada empat rumah khusus yang disakralkan yaitu Uma Katoda Kataku dan Uma Kalama, keduanya merupakan simbol dari ibu. Kemudian dua lainnya sebagai simbol dari saudara ayah dan ibu yaitu Uma Katoda Amahu dan Uma Katoda Kuri.

Tidak ada simbol ayah dalam bangunan Rumah sakral masyarakat Ratenggaro. Posisi rumah keramat ini merepresentasikan empat mata penjuru angin dengan posisi saling berhadapan. Uma Katoda Kataku letaknya di bagian selatan menghadap ke utara, berhadapan dengan Uma Kalama yang berada di baguan utara menghadap ke selatan. Uma Katoda Kuri berada di timur menghadap barat, berhadapan dengan Uma Katoda Amahu

Diantara rumah adat keramat itu, salah satunya ditempati oleh pendiri kampung yaitu Uma Katoda Kataku, rumah yang berada di selatan menghadap utara. Posisi ini merupakan pengingat bahwa leluhur mereka berasal dari Utara.

Penbagunan rumah adat tidak bisa dilaksanakan secara sembarangan. Perlu ada ritual yang dilakukan oleh tetua adat sebelum pendirian rumah. Ritual dilakukan untuk meminta izin pada leluhur. Jika diizinkan oleh leluhur, maka pembangunan rumah akan dilakukan secara gotong royong seluruh warga masyarakat.

Selama proses pembangunan rumah, dilakukan berbagai macam upacara. Bagi masyarakat adat Ratenggaro, rumah tidak sekedar tempat tinggal, tetapi juga berfunsgi sebagai sarana pemujaan.

Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari tetua adat, di kampung adat Ratenggaro ada sekitar 304 kuburan batu, tiga diantaranya terletak di pantai, persis di bibir laut. Keberadaan makam-makam kuno ini menimbulkan kesan magis.

Memasuki area pemakaman yang diwarnai batu-batu besar, rasanya seperti kembali pada era megalitikum. Meski terkesan magis namun penuh pesona artisik karena pemandangan alam pantai dan pegunungan yang indah.

Selain keindahan alam, daya tarik kampung adat Ratenggaro adalah berbagai ritual adat dan tradisi masyarakat yang eksotik yang terus terpelihara secara kuat sampai saat ini. Diantaranya tradisi berkuda yang juga bisa dinikmati para wisatawan yang mengunjungi kampung adat Ratenggaro.

Taufiq Rahzen, Budayawan nasional yang pernah tinggal di Sumba yang menjadi salah satu anggota tim anjangsana, menginformasikan, ada kisah spiritual lain terkait dengan desa adat Ratenggaro. Dia menjelaskan, Ratenggaro juga merupakan cerminan pengembaraan spiritual seorang tokoh menuju kesempurnaan hidup.

Laku spiritual ini tercermin dalam mantra Sumbayang kemudian dibuat inteksnya oleh Taufiq Rahzen. Interteks mantra karya Taufiq Rahcen tersebut adalah :

Pangga mutaka laku malundungi;
La prainggu pihu wolu-la prainggu pihu kau;
La tolara mbima;
La hupu Ina-la hupu Ama

(Berlangkah tiba, berjalan sampai;
Di negeri tujuh bentuk dan tujuh lajur;
Di halaman rata – dan serambi teras;
Tibalah engkau pada Maha Ibu – Maha Bapa )

Istilah "la tolara mbina" ini menurut Taufiq yang menjadi inspirasi dalam membentuk teras Pancasila. Frasa ini mencerminkan adanya ruang perjumpaan yang lapang dan setara, yang mampu manampung dan merajut segala perbedaan. Inilah kearifan lokal masyarakat Ratenggaro yang bisa digali untuk dijadikan sebagai bahan (source) dalam pembudayaan pancasila.

Setelah puas melihat keindahan alam desa adat Rotenggaro yang memukau dan menggali berbagai tradisinya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan yang eksotik, perjalanan dilanjutkan ke desa Perokodi, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya.

Desa ini terkenal dengan pantainya yang indah dengan view yang photogenic, terutama saat mata hari tenggelam (sunset).Pada waktu tertentu, para wisatawan bisa merasakan sensasi ombak menambrak batu karang dan menghasilkan cipratan air laut yang tinggi membentuk tabir seperti tirai yang dikenal dengan water blow.

Selain pemandangan alam pantai yang indah, di Perokodi ada keindahan lain yang tidak kalah menarik yaitu kehidupan sosial masyarakat yang damai dan tentram.

Menurut Budayawan Taufiq Rahzen yang pernah menghabiskan masa kecilnya di tempat ini, Perokodi merupakan perkampungan muslim. Mayoritas penduduk Perokodi beragama Islam hidup berdampingan secara damai dengan tetangga desa yag mayoritas peganut agama Nasrani dan kepercayaan adat.

Meski hanya kunjungan singkat, kami bisa melihat dan merasakan suasana damai dan tentram desa Perokodi. Di sana kami menyaksikan masyarakat bergaul dan berinteraksi tanpa sekat dan jarak

Beruntung kami didampingi mas Taufiq, seorang budayawan yang pernah tinggal di Sumba dan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai budaya Sumba. Dalam perjalanan, mas Taufiq juga memberikan penjeasan kepada kami berbagai kearifan dan kejenuisan lokal masayrakat Sumba.

Selain tradisi yang ada di Ratenggaro dan Perokodi, mas Taufiq juga bercerita tentang local genius masyarakat Kodi mengenai waktu.

Dijelaskan oleh taufiq, masyarakat Kodi memiliki perhituangan dan aturan mengenai waktu, semacam kalender. Perhitungan waktu ini dijadikan patokan untuk menentukan musim tanam, dibuat berdasarkan pengamatan mendalam terhadap gejala alam yang diwariskan secara turun temurun.

Perhitungan waktu masyarakat Kodi ini pernah diteliti oleh seorang antropolog Barat, JanetHoskin. Pada 1996, hasil penelitian ini diterbitkan menjadi buku dengan judul The Play of Time. Kodi Perspectives on Calendars, History, and exchange.

Menjelang siang kami kembali ke hotel dan bersiap melanjutkan perjalanan ke Ede, Kupang. Hari itu kami benar-benar melihat taman sari Indonesia yang indah dengan bunga yang aneka warna. Kami juga menemukan sumber mata air kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai kearifan sehingga menghidupi keberagaman taman sari Idonesia.

Di sini kami menyaksikan bahwa Pancasila itu nyata dan ada dalam kehidupan bangsa Indonesia, menjadi laku hidup masyarakat Indonesia. (Bersambung)



Merawat Pancasila di Rumah Budaya Sumba , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #4

Merawat Pancasila di Rumah Budaya Sumba 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #4

Oleh: Ngatawi Al Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia

Merawat Pancasila di Rumah Budaya Sumba

Memasuki area Rumah Budaya Sumba, kami merasa teduh dan damai. Suasana alam yang tenang dengan bangunan yang tertata astri membuat kami nyaman berdiskusi, menggali informasi. Rumah Budaya Sumba ini didirikan oleh seorang Frater, Robert Ramone pada tahun 2011.

"Bukan usaha yang mudah untuk mendirikan tempat ini, karena kami harus meyakinkan berbagai pihak tentang pentingnya rumah budaya" kata Frater Robert membuka diskusi.

"Saya sempat ditertawakan dan dianggap gila ketika menyampaikan gagasan tentang rumah budaya ini tapi setelah meyakinkan beberapa kali akhirnya gagasan ini bisa diterima untuk direalisasikan", tambahnya

Rumah Budaya Sumba ini terletak di Waetabula dengan luas 50 hektar. Dana pembangunan berasal dari sumbangan individu atau lembaga yang memiliki komitmen terhadap pengembangan budaya Sumba.

Menurut Frater Robert Ramone, pembangunan rumah budaya Sumba ini dimulai pada tahun 2004 dan selesai tahun 2011. Dan sampai saat ini terus dikembangkan dan mendapat respon positif dari masyarakat. Dibuktikan dangan banyaknya pengunjung yang datang baik warga lokal, wisatawan dari berbagai daerah sampai turis dari mancanegara.

Di rumah budaya Sumba ini tersimpan berbagai koleksi budaya Sumba. Mulai dari peralatan rumah tangga, perhiasan, kain tenun hingga benda-benda purba yang memiliki nilai sejarah seperti tombak, parang, tembikar, terompet, patung-patung kuno bahkan kedang yang terbuta dari kulit manusia tersimpan di sini.

Ada sekaitar 5.750 benda peninggalan leluhur yang tersimpan di museum yang ada di rumah Budaya Sumba ini. Benda-benda ini berasal dari sumbangan berbagai kalangan dan beberapa diantaranya merupakan koleksi Fratef Robert.Selain museum, di konpleks ini juga terdapat ruang diskusi, penginapan dan panggung pertunjukan.

Selain menyaksikan berbagai benda sejarah di rumah budaya ini pengunjung bisa menyaksikan pagelran seni tradisional yang dibawakan oleh seniman lokal. Ada beberapa sanggar seni di sekitar rumah budaya yang melakukan pertunjukan di pangung hiburan yang ada di lokasi rumah budaya. Selain menonton pagelaran, para pengunjung bisa ikut menari bersama para penari.

Mengawali pembicaraan Frater Robert mengisahkan keinginannya memelihara dan mengembangkan budaya Sumba. Frater menjelaskan kepercayaan Marapu yang dianut mayoritas masayrakat Sumba bersifat animistis, mengajarkan keseimbangan hidup manusia dengan alam. Untuk mengangkat tradisi dan mengaktualisasikan potensi adat Sumba, Frater Robert mulaia berangkat dari fotografi, keahlian yang dimiliki oleh Frater Robert sejak dirinya masih menempuh pendidikan di Yogya.

Frater Robert menjelaskan, saat ini di Sumba ada 132 desa adat, 10 rumah tenun dan 175 rumah adat yang menjadi destinasi wisata. Selain itu juga ada berbagai pemandangan alam yang indah yang layak dijadikan sebagai destinasi wisata. Meski memiliki potensi wisata yang menarik, namun taraf hidup masyarakat masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya indeks pembangunan pembangunan manusia di Sumba. Data tahun 2017 menunjukkan indeks pembangunan manusia di Sumba berada pada angka 63,73.

Angka ini masih dibawah rata-rata nasional, yaitu 70,81. Ini artinya tingkat pendidikan, derajad kesehatan dan kemakmuran ekonomi masyarakat Sumba masih rendah. Kondisi inilah yang mendorong frater Robert menggerakkan budaya Sumba untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Jalan kebudayaan yang dipilih frater Robert ini merupakan langkah yang tepat, karena data kepercayaan masyarakat Sumba menunjukkan mayoritas warga Sumba menganut kepercayaan lokal. Di Sumba ada 20 persen pemeluk Kristen, 15 persen Katholik, 5 persen Islam dan selebihnya penganut kepercayaan lokal. Dengan komposisi penganut kepercayaan yang seperti ini maka pendekatan kebudayaan menjadi sarana yang tepat.

Namun demikian hal ini bukan berarti tanpa tantangan dan hambatan. Hambatan justru muncul dari agama puritan dan kaum radikal. Gerakan ini tidak hanya muncul dari kalangan Islam, tetapi juga dari penganut Kristen. Frater Robert sering mendapat hujatan dari ummat dan tokoh Nasrani karena dianggap terlalu memperhatikan kepercayaan lokal sehingga bisa menghambat missi agama.

Menjawab berbagai hujatan dan pertanyaan tersebut, Frater Robert mengajak kaum puritan untuk kembali pada nilai universal dari agama. Menurutnya, manusia dilahirkan dalam konstruksi nilai yang universal. Dalam masyarakat Sumba nilai universal itu ada dalam kepercayaan adat.

Mengutip Dr. Van Lith, frater Robert menyatakan, bicara sumba harus bicara aliran kepercayaan Sumba (Marapu). Kepercayaan Marapu sangat mempengaruhi pola pikir, cara idup dan cara pandang orang Sumba. Nilai universal yang ada dalam kepercayaan adat Sumba ini bisa membimbing manusia menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai agama.

Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara nilai universal yang ada dalam kepercayaan adat dengan agama. Atas dasar inilah Frater Robert memilih jalan kebudayaan sebagai ekspresi religiusitasnya sebagai pemimpin ummat Nasrani. Bagi Frater Robert melestarikan budaya adalah melestarikan manusia.

Perjuangan frater Robert tidak sia-sia, karena melalui jalur kebudayaan ini tidak saja berhasil mengembangkan dan melestarikan budaya Sumba, tetapi juga berhasil menciptakan oase yang menampung berbagai aliran sumber mata air kebudayaan.

Di Rumah adat ini tercipta ruang perjumpaan yang mentautkan berbagai ragam perbedaan. Di sini perbedan bukan menjadi penghalang untuk bersatu, perbedaan bukan menjadi tembok yang memisahkan. Sebaliknya di rumah budaya Sumba ini perbedaan justru terajut secara utuh tanpa harus melebur dan menghilangkan jati diri masing-masing.

Di rumah budaya Sumba ini kita bisa melihat praktek hidup berpancasila. Di sini nilai-nilai Pancasila dapat diwujudkan secara nyata. Bisa dikatakan rumah Budaya Sumba ini sebagai tempat merawat nilai-nilai Pancasila. Melihat perjuangan Frater Robert dalam membangun dan merawat rumah budaya Sumba ini, penulis jadi teringat pernyatan Mgr. Sugiya Pranoto tentang 100 persen Katholik dan 100 persen Indonesia. Hal ini diterapkan secara nyata oleh Frater Robert melalui rumah Budaya sumba. (bersambung)


Makna Pancasila Dalam Tenun Sumba , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #3

Makna Pancasila Dalam Tenun Sumba 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #3

Makna Pancasila Dalam Tenun Sumba

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


Setelah mengunjungi kampung Tarung di Sumba Barat dan belajar tentang kearifan dari masyarakat adat Marapu, hari berikutnya kami mengunjungi Rumah Budaya Sumba. Di tempat ini kami melakukan sarasehan untuk menggali secara lebih dalam nilai-nilai dan spirit yang ada dalam tradisi dan budaya Sumba. Hadir sebagai narasumber dalam sarasehan ini adalah Umbu Ignatius, seorang pelestari dan pengkaji batik Sumba serta Frater Robert Ramone, pendiri Rumah Budaya Sumba.

Menurut Umbu Ignatius, kain tenun Sumba adalah cermin kehidupan masyarakat Sumba. Asal usul dan perjalanan hidup manusia Sumba, sejak lahir, menjadi dewasa hingga kematian, semua tertuang dalam motif tenun. Tenun Sumba juga menjadi penanda status sosial masyarakat, makin tinggi status sosial seseorang makin banyak kain dibungkuskan pada jasad. "Corak kain tenun Sumba menggambarkan karakter pemakai" kata Umbu Ignatius.

Setiap motif tenun Sumba memiliki makna dan fungsi masing-masing. Misalnya, motif kuda melambangkan kepahlawanan, keagungan dan kebangsawanan serta harga diri. Kuda adalah hewan penting bagi masyarakat Sumba. Selain menjadi tunggangan kuda juga merupakan simbol kekayaan.

Ketika seseorang yang memiliki status sosial tunggi meninggal maka akan dikorbankan seeokor kuda sebagai penghargaan terhadap arwah. Posisi kuda hampir sejajar dengan arwah nenek moyang.

Motif lainnya adalah buaya dan ayam yang memiliki makna kekuatan dan kehidupan bagi perempuan. Ada juga motif burung kakatua yang mencerminkan sikap kebersamaan masyarakat Sumba dalam menyelesaikan masalah, karena kakatua selalu terbang bersama-sama.

Sikap seorang pemimpin disimbolkan dalam hewan rusa yang selalu berjalan dengan kepala tegak menatap ke depan. Motif udang bermakna kebangkitan setelah kematian dan kehidupan abadi setelah dunia fana. Olehkarenanya, motif udang biasanya digunakan untuk membalut orang yang sudah meninggal.

Selain motif hewan, tenun Sumba juga memiliki motif ornamen megalitik dalam bentuk yang mirip topeng. Corak geometris seperti lingkaran, segi tiga, segi empat, belah ketupat dan anyaman. Motif ini tidak sekedar untuk memenuhi nilai estetik tetapi merupakan gambaran siklus kehidupan dari lahir sampai mati, juga simbol pemujaan pada alam, roh dan leluhur.

Tenun sumba tidak hanya memiliki makna dan fungsi sosiologis-spiritual, sebagaimana terlihat pada motif, tetapi juga memiliki makna edukatif, terutama yang terkaitdengan pembentukan karakter dan kepekaan terhadap alam. Hal ini terlihat dalam proses pembuatan tenun Sumba.

Menurut penjelasan Umbu Ignatius, prosess pembuatan tenun Sumba memiliki 42 tahap, dimulai dari meramu tumbuhan sebagai bahan pewarna, menyimpan untuk pematangan warna. Pada tahap menyimpan ini kain dibiarkan tidur seperti menidurkan anak dalam keranjang tertutup. Setelah semua dianggap cukup baru dimulai proses menenun.

Proses pewarnaan dilakukan secara alamiah, yaitu menggunakan warna asli yang diambil dari tumbuh-tumbuhan, seperti nila, mengkudu, kayu kuning dan pohon bakau yang tumbuh di pantai. Sebagai gambaran, untuk membuat lima lembar kain tenun Sumba dengan ukuran 120 x 75 cm dibutuhkan 3 kg pasta nila kering dan 30 kg akar mengkudu.

Cara membuat pasta nila adalah daun nila dipotong-potong kemudian direndam dalam air selama satu malam . Daun yang sudah direndam kemudian diperas dan dicampur dengan kapur sirih, ditiris lalu dikeringkan dengan cara dijemur. Proses pembuatan pasta ini memerlukan waktu lima sampai 8 hari.

Dari proses pembuatan warna yang alamiah ini kita bisa melihat bagaimana masyarakat bisa belajar berkomunikasi dengan alam dan memanfaatkan alam untuk kehidupan. Dalam konteks ini diperlukan kepekaan terhadap alam agar bisa memilih bahan secara tepat serta memtukan waktu untuk membuat bahan serta menenun. Proses ini tidak akan terjadi tanpa ada kepekaan terhadap alam.

Karena semua proses ini terjadi secara alamiah, tanpa melibatkan bahan kimia yang merusak alam, maka kelestarian alam bisa terjaga dan terpelihara dengan baik. Semua mencerminkan hubungan yang intim antara manusia dengan alam sehingga alam menjadi bagian kehidupan dari masyarakat.

Setelah zat pewarna jadi, baru dilakukan proses pewarnaan terhadap benang yang akan ditenun. Setiap helai benang pada kain tenun memiliki makna mendalam bagi masyarakat Sumba.Setelah semua benang diwarnai, baru dilakukan proses menenun.

Untuk membuat satu helai kain tenun diperlukan waktu yang cukup lama bahkan ada yang sampai tahunan, tergantung kerumitan motif dan fungsi dari tenun. Karena proses yang panjang inilah maka tenun sunda bisa menjadi sarana membentukn kesabaran dan ketekunan.

Dalam konstruksi budaya Sumba, menenun merupakan pekerjaan perempuan. Pada awalnya tujuan membuat kain tenun adalah untuk suami sebagai tanda hormat dan cinta. Kain tenun buatan istri ini akan dibawa oleh suami saat meninggal dunia, dipakai sebagai penutup jenazah.

Para perempuan Sumba juga membuat tenun untuk dipakai sendiri. Mereka menenun sejak akil baligh atas bimbungan ibu dan neneknya. Ketika sudah menikah kain hasil tenunan terbaik akan dibawa ke rumah suami dan selanjutnya diwariskan kepada anak-anaknya.

Apa yang terjadi menunjukkan bahwa tenun Sumba merupakan bagian dari tradisi dan budaya Sumba yang tidak memiliki nilai ekonomis. Para pengrajin tenun melakukan kerja menenun bukan kerena dorongan motif ekonomi, tetapi lebih pada dorongan tradisi dan adat.

Karena tidak ada motif ekonomi maka mereka tidak pernah berhitung secara material terhadap kain tenun yang telah dihasilkan. Kondisi inilah yang menarik perhatian Umbu Ignatius untuk melakukan pemberdayaan ekonomi para pengrajin tenun Sumba.

Degan memanfaatkan jaringan dan pengalaman sebagai pemandu wisata di Bali, Umbu Ignatius mulai memperkenalkan tenun Sumba pada turis lokal maupun mancanegara.

Pada mulanya masyarakat Sumba yang tidak memiliki orientasi ekonomi itu hanya menjual tenun ala kadarnya. Hal ini dimanfaatkan oleh para kapitalis. Mereka membeli tenun dari para pengrajin dengan harga murah kemudian dijual dengan harga sangat tinggi.

Untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Sumba, Ignatius melakukan pendidikan terhadap masyarakat Sumba mengenai nilai ekonomi dari tenun sumba. Menurut Umbu Ignatius hal ni bukan dimaksudkan untuk mengkapitalisasi budaya dan tradisi, tetapi untuk memberikan apresiasi dan penghargaan yang layak terhadap para pelaku budaya tenun Sumba.

"Dengan cara ini kami menjaga dan melestarikan budaya tenun Sumba" Kata Umbu Ignatius. "Jika para pelaku budaya tenun Sumba bisa meningkat ekonominya, maka tenun sumba akan bisa dilestarikan" lanjutnya.

Dari tenun Sumba kami bisa belajar bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa diwujudkan dalam laku hidup sehari-hari melalui berbagai simbol budaya dan tradisi yang masih terawat dengan baik.

Dari tenun Sumba kita tidak saja belajar tentang menjaga keberagaman dan kreatifitas, tetapi juga nilai-nilai dan sistem pengetahuan tradisional dalam menjaga dan merawat alam, berbagi dengan sesama, gotong royong dan menjaga nilai-nilai ketuhanan. (Bersambung)