Senin, 01 Februari 2021

Pesona Budaya Desa Adat Ratenggaro dan Perokodi , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #5

Pesona Budaya Desa Adat Ratenggaro dan Perokodi 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #5

Pesona Budaya Desa Adat Ratenggaro dan Perokodi

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


Hari terakhir di Sumba kami berkesempatan mengunjungi desa adat Ratenggaro. Desa adat ini terletak di desa Umbu Ngedi, Kecamatan Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya, berjarak sekitar 56 km dari Tambolaka, Ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya.

Jalan menuju Ratenggaro sudah lumayan mulus, hanya beberapa ruas yang rusak dan bergelombang. Meskipun jalanan relatif mulus, namun karena sempit dan berliku, maka jarak yang tidak begitu jauh itu ditempuh dalam waktu 1,5 sampai 2 jam dengan kendaraan elf.

Secara etimologis (bahasa) Ratenggaro berasal dari dua kata; rate yang berarti kuburan dan garo yang berarti orang Garo. Menurut keterangan keketua adat, desa Ratenggoro merupakan tempat penguburan orang yang mati terbunuh karena perang antar suku.

Desa adat Ratenggaro laksana cagar budaya, karena di desa itu masyarakatnya masih memegang teguh adat leluhur dengan berbagai ritual dan tradisinya. Ekspresi adat ini terlihat dalam bangunan ruah yang seperti joglo Jawa namun atapnya menjulang tinggi hingga belasan meter terbuat dari jerami.

Ketinggian atap mencerminkan status sosial pemiliknya.Selain itu, tingginya atap rumah juga menjadi simbol penghormatan terhadap arwah para leluhur.

Rumah adat di Ratenggaro disebut Uma Kelada. Bangunan rumah adat Sumba seperti rumah panggung. Terdiri dari empat tingkat dengan fungsi yang berbeda-beda. Tingkat paling bawah berfungsi sebagai tempat hewan ternak.

Tingkat kedua sebagai tempat tinggal pemilik dan dapur tempat memasak. Di bagian atas tempat masak terdapat kotak tempat menyiman benda-benda keramat.

Tingkat ketiga berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen. Tingkat keempat tempat menyimpan tanduk kerbau sebagai simbol kemuliaan. Selain berfungsi secara magis, tanduk kerbau juga memiliki fungsi estetis yaitu ornamen untuk mempercantik bangunan rumah. Oleh karena itu, tanduk kerbau ini biasanya diletakkan di tempat yang paling strategis agar bisa dilihat.

Menurut kepercayaan masyarakat Ratenggaro, ada empat rumah khusus yang disakralkan yaitu Uma Katoda Kataku dan Uma Kalama, keduanya merupakan simbol dari ibu. Kemudian dua lainnya sebagai simbol dari saudara ayah dan ibu yaitu Uma Katoda Amahu dan Uma Katoda Kuri.

Tidak ada simbol ayah dalam bangunan Rumah sakral masyarakat Ratenggaro. Posisi rumah keramat ini merepresentasikan empat mata penjuru angin dengan posisi saling berhadapan. Uma Katoda Kataku letaknya di bagian selatan menghadap ke utara, berhadapan dengan Uma Kalama yang berada di baguan utara menghadap ke selatan. Uma Katoda Kuri berada di timur menghadap barat, berhadapan dengan Uma Katoda Amahu

Diantara rumah adat keramat itu, salah satunya ditempati oleh pendiri kampung yaitu Uma Katoda Kataku, rumah yang berada di selatan menghadap utara. Posisi ini merupakan pengingat bahwa leluhur mereka berasal dari Utara.

Penbagunan rumah adat tidak bisa dilaksanakan secara sembarangan. Perlu ada ritual yang dilakukan oleh tetua adat sebelum pendirian rumah. Ritual dilakukan untuk meminta izin pada leluhur. Jika diizinkan oleh leluhur, maka pembangunan rumah akan dilakukan secara gotong royong seluruh warga masyarakat.

Selama proses pembangunan rumah, dilakukan berbagai macam upacara. Bagi masyarakat adat Ratenggaro, rumah tidak sekedar tempat tinggal, tetapi juga berfunsgi sebagai sarana pemujaan.

Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari tetua adat, di kampung adat Ratenggaro ada sekitar 304 kuburan batu, tiga diantaranya terletak di pantai, persis di bibir laut. Keberadaan makam-makam kuno ini menimbulkan kesan magis.

Memasuki area pemakaman yang diwarnai batu-batu besar, rasanya seperti kembali pada era megalitikum. Meski terkesan magis namun penuh pesona artisik karena pemandangan alam pantai dan pegunungan yang indah.

Selain keindahan alam, daya tarik kampung adat Ratenggaro adalah berbagai ritual adat dan tradisi masyarakat yang eksotik yang terus terpelihara secara kuat sampai saat ini. Diantaranya tradisi berkuda yang juga bisa dinikmati para wisatawan yang mengunjungi kampung adat Ratenggaro.

Taufiq Rahzen, Budayawan nasional yang pernah tinggal di Sumba yang menjadi salah satu anggota tim anjangsana, menginformasikan, ada kisah spiritual lain terkait dengan desa adat Ratenggaro. Dia menjelaskan, Ratenggaro juga merupakan cerminan pengembaraan spiritual seorang tokoh menuju kesempurnaan hidup.

Laku spiritual ini tercermin dalam mantra Sumbayang kemudian dibuat inteksnya oleh Taufiq Rahzen. Interteks mantra karya Taufiq Rahcen tersebut adalah :

Pangga mutaka laku malundungi;
La prainggu pihu wolu-la prainggu pihu kau;
La tolara mbima;
La hupu Ina-la hupu Ama

(Berlangkah tiba, berjalan sampai;
Di negeri tujuh bentuk dan tujuh lajur;
Di halaman rata – dan serambi teras;
Tibalah engkau pada Maha Ibu – Maha Bapa )

Istilah "la tolara mbina" ini menurut Taufiq yang menjadi inspirasi dalam membentuk teras Pancasila. Frasa ini mencerminkan adanya ruang perjumpaan yang lapang dan setara, yang mampu manampung dan merajut segala perbedaan. Inilah kearifan lokal masyarakat Ratenggaro yang bisa digali untuk dijadikan sebagai bahan (source) dalam pembudayaan pancasila.

Setelah puas melihat keindahan alam desa adat Rotenggaro yang memukau dan menggali berbagai tradisinya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan yang eksotik, perjalanan dilanjutkan ke desa Perokodi, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya.

Desa ini terkenal dengan pantainya yang indah dengan view yang photogenic, terutama saat mata hari tenggelam (sunset).Pada waktu tertentu, para wisatawan bisa merasakan sensasi ombak menambrak batu karang dan menghasilkan cipratan air laut yang tinggi membentuk tabir seperti tirai yang dikenal dengan water blow.

Selain pemandangan alam pantai yang indah, di Perokodi ada keindahan lain yang tidak kalah menarik yaitu kehidupan sosial masyarakat yang damai dan tentram.

Menurut Budayawan Taufiq Rahzen yang pernah menghabiskan masa kecilnya di tempat ini, Perokodi merupakan perkampungan muslim. Mayoritas penduduk Perokodi beragama Islam hidup berdampingan secara damai dengan tetangga desa yag mayoritas peganut agama Nasrani dan kepercayaan adat.

Meski hanya kunjungan singkat, kami bisa melihat dan merasakan suasana damai dan tentram desa Perokodi. Di sana kami menyaksikan masyarakat bergaul dan berinteraksi tanpa sekat dan jarak

Beruntung kami didampingi mas Taufiq, seorang budayawan yang pernah tinggal di Sumba dan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai budaya Sumba. Dalam perjalanan, mas Taufiq juga memberikan penjeasan kepada kami berbagai kearifan dan kejenuisan lokal masayrakat Sumba.

Selain tradisi yang ada di Ratenggaro dan Perokodi, mas Taufiq juga bercerita tentang local genius masyarakat Kodi mengenai waktu.

Dijelaskan oleh taufiq, masyarakat Kodi memiliki perhituangan dan aturan mengenai waktu, semacam kalender. Perhitungan waktu ini dijadikan patokan untuk menentukan musim tanam, dibuat berdasarkan pengamatan mendalam terhadap gejala alam yang diwariskan secara turun temurun.

Perhitungan waktu masyarakat Kodi ini pernah diteliti oleh seorang antropolog Barat, JanetHoskin. Pada 1996, hasil penelitian ini diterbitkan menjadi buku dengan judul The Play of Time. Kodi Perspectives on Calendars, History, and exchange.

Menjelang siang kami kembali ke hotel dan bersiap melanjutkan perjalanan ke Ede, Kupang. Hari itu kami benar-benar melihat taman sari Indonesia yang indah dengan bunga yang aneka warna. Kami juga menemukan sumber mata air kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai kearifan sehingga menghidupi keberagaman taman sari Idonesia.

Di sini kami menyaksikan bahwa Pancasila itu nyata dan ada dalam kehidupan bangsa Indonesia, menjadi laku hidup masyarakat Indonesia. (Bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar