Senin, 01 Februari 2021

Jejak-Jejak Pancasila di Rumah Pengasingan , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #6

Jejak-Jejak Pancasila di Rumah Pengasingan 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #6

Jejak-Jejak Pancasila di Rumah Pengasingan

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


SEKITAR  jam 17.00 WIT kami mendarat di bandara H. Hasan Aroeboesman Ende. Cuaca sedikit mendung, sehingga matahari yang sebentar lagi tenggelam makin terlihat redup karena terhalang awan. Angin senja bertiup sepoi-sepoi menebar udara sejuk membuat suasana sore itu menjadi terasa nyaman.

Bandara yang terkenal ekstrim itu sama sekali tidak menunjukkan kesan menyeramkan karena tertutup oleh keindahan pantai dan pegunungan yang ada di sekitarnya. Karena sudah berada dipenghujung senja, rombongan langsung menuju hotel untuk melakukan kordinasi acara besuk, dilanjutkana dengan istirahat.


Pagi hari rombongan menuju rumah pengasingan Bung Karno yang terletak di di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja, di tengah kota Ende. Di rumah ini kami melihat beberapa koleksi Bung Karno yang masih tersisa, seperti lukisan, naskah sandiwara tonil, beberapa perabot rumah tangga dan beberapa lembar kain.

Kami memasuki kamar-kamar tempat Bung Karno kerja, beristirahat dan bercengkrama dengan keluarga. Bung Karno menempati rumah pengasingan di Ende ini selama empat tahun, sembilan bulan dan empat hari (mulai tanggal 14 Februari 1934 sd 1938.


Selama di pengasingan di Ende, Bung Karno beserta istri (Inggit Ganarsih), mertuanya (Ibu Amsi) dan kedua anak angkatnya (Ratna Juami dan Kartika)menempati rumah sederhana milik Haji Abdullah Ambuwaru.

Setelah melihat-lihat beberapa benda koleksi Bung Karno dan berkililing melihat suasana rumah pengasingan, rombongan melakukan diskusi mengenai Pancasila. Penulis menjadi barasumber bersama Saeful Arif, tenaga Ahli MPR dan Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP).

Diskusi dimaksudkan untuk menggali jejak-jejak Pancasila dan merekosntruksi pemikiran Bung Karno tentang Pancasila. Sebagaimana kita ketahui, ide tentang Pancasila itu tercetus dalam perenungan Soekarno saat diasingkan di Ende. Oleh karena itu ditempat pengasingan ini kami, tim BPIP mencoba menggali dan menghidupkan kembali gagasan dan spirit Bung Karno tentang Pancasila.

Dalam diskusi ini penulis menyampaikan bahwa gagasan Pancasila Bung Karno merupakan wujud dari pola pikir dan gagasan intelektual genuin yang khas Nusantara, yaitu mempertautkan dimensi sepiritual dan rasional.

Sebagai seorang intelektual, Soekarno menyerap berbagai konsep dan pemikiran yang rasional, seperti sosialisme, kapitalisme, nasionalisme dan berbagai gagasan besar dunia lainnya. Namun sebagai seorang Muslim yang hidup dan didik dalam konstruksi budaya Nusantara, rasionaitas saja tidak cukup, perlu dilengkapi dengan spiritualitas.

Untuk mengembangkan kekuatan dan kemampuan spiritualitas Bung Karno berguru pada beberapa ulama, para leluhur dengan menjalani laku spiritual.

Genealogi sosial-budaya dan ideologis Bung Karno memang sangat beragam. Dia memperoleh kebudayaan Jawa dan mistik dari neneknya. Dari Bapaknya Bung Karno memperoleh theosofisme dan Islam. Dari ibunya dia belajar Hinduisme dan Budhisme. Dari Sarinah dia mendapatkan humanisme. Dari Cokroaminito dia mendapatkan sosialisme dan Islam. Selanjutnya dari pergumulan dengan teman-teman seperjuangan Bung Karno mendapatkan nasionalisme.

Selain itu Bung Karno juga mendalami spiritualitas kepada Sosrokartono, KH. Muhammad Yusuf, ulama dari Betawi, Dato' Mujib, ulama Betawi keturunan Makasar dan KH. Hasyim Asy'ari. Para ulama ini tidak hanya mengajari Islam pada Bung Karno tetapi juga ilmu-ilmu spiritual. Inilah yang membuat pemahaman keislaman Bungkarno menjadi lebih luas dan substansial.

Di tempat pengasingan di Ende inilah Bung Karno melakukan rekosntruksi dan integrasi antara kekuatan rasional dan spiritual sehingga tercipta butir-butir pemikiran yang kemudian disebut Pancasila. Bisa dikatakan bahwa Ende adalah rahim tempat pembuahan Pancasila terbentuk.

Karena di Ende inilah terjadi pertemuan antara serbuk sari dan putik, antara ovum dan sperma, antara rasionalitas dan spiritualitas. Inilah yang menyebabkan Pancasila tidak bisa dipahami secara rasionala semata, atau spiritual saja. Memahami dan menerapkan Pancasila harus dengan pendekatan rasional dan spiritual.

Saeful Arif menjelaskan fase-fase penggalian Pancasila yang dilakukan oleh Bung Karno.

Fase pertama adalah pertemuan Bung Karno dengan pemikiran sosialisme Islam, ketika "mondok" di Surabaya dan bergumul dengan para aktivis Sarekat Islam pada tahun 1918 dibawah bimbingan HOS Cokroaminoto.

Fase kedua, ketika dia belajar di Bandung tahun 1920-1930. Di sini dia bertemu dengan pemikiran Nasionaliseme, terutama ketika dia berdiskusi dengan tiga serangkai; Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantoro dan Tjipto Mangunkusumo.Dari sini Soekarno berpikir bahwa Nasionalisme adalah ideologi yang menyatukan semua ideologi yang ada.

Sejak saat itu dia menjadi pemikir yang ingin menyatukan ketiga ideologi besar dunia; Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme. Dari sini benih-benih Pancasila mulai terbentuk. Arif secara tegas menyatakan mencari titik temu berseteruan ketiga ideologi besar inilah yang menjadi latar epistemik Pancasila.

Mengutip Yudi Latief, Arif menyatakan bahwa Pancasila muncul karena terjadinya hubungan saling kawin mawin tiga ideologi besar dunia; Islamisme, Nasionalisme dan Maxisme. Dengan kata lain, Pancasila tidak ada jika tiga ideologi besar dunia itu tidak saling kawin mawin.

Upaya mengintegrasikan ketiga ideologi besar dunia yang dilakukan Bung Karno, melahirkan berbagai gagasan besar, misalnya gagasan nasionalisme sebagai perkakas Tuhan, Nasionalisme sebagai bagian dari internasionalisme yang bertujuan untuk pemuliaan martabat manusia. Semua ini menjadi spirit yang diejawantahkan dalam gerakan politik Bug Karno. Berbagai pemikiran inilah yang menjadi benih-benih Pancasila.

Ketika di Ende kepekaan Soekarno tumbuh. Dalam pengasingan yang tidak bisa melakukan aktivitas politik, Soekarno memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi dan perenungan. Di sinilah kepekaan spiritual dan kebudayaan Soekarno tumbuh.

Dalam suasana yang tenang dan hening, muncullah nilai ke-Tuhanan melengkapi butir-butir pemikiran yang sudah dirumuskan terlebih dahulu. Dengan ditemukannya nilai keTuhanan, maka lengkaplah lima nilai menjadi Pancasila. Tanpa ditemukannya nilai keTuhanan maka tidak akan ada Pancasila.

Seperti terbawa oleh aura yang ada di rumah pengasingan Bung Karno, suasana diskusi saat itu terasa enjoy dan asyik. Ada spirit yang mendorong dan menggerakkan para peserta untuk terus berdiskusi menggali pemikiran Bung Karno tentang Pancasila.

Sama sekali kami tidak merasa bahwa waktu untuk diskusi sudah habis dan kami harus bergeser ke tempat lain. Sehingga kami terpaksa harus mengakhiri diskusi dan meninggalkan rumah pengasingan Bung Karno yang tidak saja menyimpan kenangan sejarah tetapi juga sarat dengan makna.

Sekitar pukul 13.00 rombongan Badan Pmbinaan Ideologi Pancasila (BPIP) meninggalkan rumah sejarah tempat pengasingan Bung Karno untuk melanjutkan acara di tempat lain. Ada perasaan haru dan berat saat meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu.

Perasaan itu sulit terucapkan dan terkatakan. Tapi satu hal yang bisa ku katakan bahwa aku mesti kembali ke tempat ini untuk menggali dan menyibak kembali jejak-jejak Pancasila yang masih tersisa. Karena dari sini route pembudayaan Pancasila akan bermula. (Bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar