Senin, 01 Februari 2021

Penjaga Adat Marapu , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #1

Penjaga Adat Marapu
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #1

Penjaga Adat Marapu

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia

Pengantar:
Tanggal 20 sd 24 November dan 28 Noveember s/d 1 Desember, penulis mengikuti anjangsana Pancasila yang diselenggarakan Oleh BPIP. Suatu program penggalian nilai-nilai kearifan untuk merumuskan strategi pembudayaan Pancasila. Kunjungan dilakukan di Sumba, Ende dan Bali. Tulisan berseri yang akan diturunkan diportal ini merupakan catatan perjalan anjangsa Pancasila tersebut.


PEREMPUAN tua itu menyambut kami, rombongan dari BPIP, di beranda rumah adat Marapu di kampung Tarung, Sumba Barat, NTT. Temaram senja dengan sisa-sisa sinar mentari yang hampir padam itu membuat suasana semakin syahdu.


Guratan-guratan di wajah perempuan itu seperti memandakan usia yang renta, perkiraan kami sudah di atas 70 tahun, tapi sorot mata yang tajam dan suara yang lantang dengan bahasa yang tegas dan diksi yang kuat menunjukkan bahwa perempuan ini adalah sosok yang cerdas, tangguh dan pemberani namunsarat dengan kearifan.

Dia adalah mama Rato, sering disebut juga Mama Lado, seorang Tetua adat Marapu. Meski usianya sudah tidak lagi muda namun memori dan pemikirannya masih kuat dan jernih. Dia bisa menjelaskan berbaga peristiwa masa lalu dan ajaran kepercayaan Marapu dengan tuntut dan jelas. Hampir seluruh pertanyaan kami bisa dijawab dengan runtut dan sistematis

Kepada kami mama Rato menjelaskan, bahwa adat Kepercayaan Marapu tidak memiliki huruf dan kitab, dia hanya ajaran dan nilai yang dwariskan secara turun temurun melalui cerita tutur dan diekspresikan melalui laku hidup

Meskipun tidak memiliki huruf, namun masyarakat Marapu memiliki kemampuan membaca alam dan kehidupan, membuat perhtungan cuaca bahkan memprediksi kehidupan yang akan terjadi.

Selain itu, asyarakat Marapu juga memiliki kemampuan mendiagnosis dan mengobati penyakit, membuat perhitungan dalam mendirikan bangunan, mengatur musim tanam.

Berbagai kemampuan ini diperoleh dari hasil dialektika dan pengamatan yang mendalam terhadap alama dan lingkungan. Selain itu, untuk meningkatkan kepekaan batiniah dalam berdialog dengan alam dan kenyataan, mereka juga melakukan berbagai laku spiritual.

Hasil pengamatan inderawi terhadap alam yang bersifat fisik dan empirik ini dicatat dalam memori kemudian dikonstruksi dalam suatu konsep pengetahuan yang kita kenal dengan kecerdasan lokal (local genius). Sedangkan laku spiritual yang menghasilkan kepekaan batin melahirkan kekuatan spiritual yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu yang kemudian dikenal dengan kebijakan lokal (local wisdom).

Pertautan antara kecerdasan lokal yang bersifat rasional, material dan faktual yang terekspresi dalam local genius dengan kekuatan spirtual yang abstrak, irrasional dan immaterial yang tercermin dalam local wisdom inilah yang menjadi konstruksi sosial-budaya masyarakat adat Marapu, sebagaimana layaknya masyarakat adat lainnya di Nusantara.

Sebagai masyarakat adat yang menggunakan tradisi dan cerita tutur dalam mentranfsformasikan nilai dan ajaran, masyarakat Marapu menghadapi tantangan modernitas, khususnya yang terkait dengan dengan persoalan birokrasi kenegaraan. Karena tidak bisa membaca dan menulis sebagaiamana standar masyarakat modern, maka masyarakat Marapu dianggap sebagai komunutas yang terbelakang, buta huruf dan tidak berbudaya, meskipun sebenarnya mereka memiliki kebudayaan, seperti terlihat dalam konstruksi adat dan tradisi yang kokoh. Akibatnya mereka dipandang secara pejoratif dan mengalami marginalisasi karena dianggap tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan zaman.

Ada kisah menarik namun tragis yang kisahkan oleh Mama Rato terkait dengan persoalan birokrasi negara. Suatu saat anaknya pulang sekolah sambil menangis karena diusir oleh gurunya. Dia ditolak masuk sekolah karena dianggap tidak mememenuhi persyaratan administratif, yaitu akte kelahiran. Saat mengurus akta kelahiran, sang orang tua harus menunjukkan akta nikah resmi yang diakui negara.

Karena masyarakat Marapu menikah secara adat, maka mereka tidak memiliki akta nikah yang diakui negara, akibatnya sang anak tidak bisa urus akta kelahiran dan ditolak masuk sekolah. Atas kejadian ini, mama Rato datang ke sekolah dan mengancam guru yang telah mengeluarkan anak yang mau sekolah, sehingga terjadi keributan yang memancing pejabat terkait untuk turun tangan. Akhirnya terjadi proses dialog dan muncul kebijakan yang memperbolehkan anak-anak bisa sekolah tanpa dituntut persyaratan dokumen.

"Kalau mereka mau bikin kita pinter sesuai dengan tata cara mereka, dengan mengajari kami membaca dan menulis kami bisa menerima, tapi ketika mereka mau mengubah tatanan kami, menolak dan tidak mengakui adat kami maka kami tidak bisa terima" demikian tutur mama Ratu dengan suara lantang dan tegas. Kami bisa memahami kemarahan mama Ratu atas penolakan status anak yang menikah secara adat, karena itu sama saja negara mengabaikan norma, nilai dan adat masyarakat Marapu.

Bagaimanapun, perkawinan adat masyarakat Marapu adalah bentuk sah hubungan lelaki perempuan dalam ikatan suami istri. Dengan demikian anak yang dilahirkan juga sah secara adat karena sesuai dengan norma, etika dan nilai yang ada. Jika anak yang lahir dari perkawinan sah secara adat ini dianggap tidak sah oleh negara berarti negara telah memberangus dan menolak nilai-nilai dan norma adat tersebut

Sebagai pejuang dan penjaga adat Marapu, Mama Rato sudah beberapa kali dipanggil dialog ke berbagai forum, baik di tingkal lokal maupn nasional. Di forum-forum tersebut, mama Rato tampil sebagai narasumber atau memberikan testimoni.

"Berkali kali saya dialog dan bertanya dengan para pejabat negara dan pemimpin agama-agama. Mereka sering tidak bisa menjawab pertanyaan yang kami ajukan. Mereka juga menjanjikan berbagai kebijakan dan aturan yang membela kaum adat tapi prakteknya itu semua belum terlaksana dengan baik" Demikian mama Rato bersemangat.

"Kami tidak menuntut lebih dari bangsa ini, kami hanya mau hidup tentram dan damai, bisa menjalankan tradisi secara bebas tanpa dihambat dengan berbagai aturan birokrasi dan stigma negatif lainnya" Tandasnya dengan suara tajam dan tegas.

Apa yang diceritakan Mama Rato hanya secuil kisah terjadinya benturan antara adat dan sistem birokrasi negara. Hal seperti ini juga dialami oleh masyarakat Sunda Wiwitan dan komunitas adat lainnya. Eksisten dan hak-hak mereka sering terabaikan akibat benturan dengan sistem birokrasi yang ada. Jika terjadi hal seperti ini biasanya masyarakat adat mengalah, pastrah untuk tidak menerima hak-haknya sebagai warga negara demi menjaga dan menjalankan adat yang telah mereka yakini dan jalani. Misalnya saat penerimaan bantuan negara, mereka sering tidak kebagian karena tidak memiliki KTP atau dokumen lain yang dianggap sah. Padahal secara faktual, sosiologis-antropologis, mereka jelas-jelas warga negara Indonesia.

Melihat semangat perjuangan dan kegigihan Mama Rato dalam mempertahankan adat Marapu serta penguasaannya yang mendalam terhadap nilai-nilai, ajaran dan berbagai makna ada dalam ritual adat kami merasa beliau tidak sekedar juru bicara yang fasih dalam menjelaskan adat Marapu, tetapi juga seorang advokat tradisi yang andal dan gigih. Beliau adalah penjaga tradisi yang kokoh.

Hari mulai beranjak malam meninggalkan senja yang temaram, cuaca dingin mulai menerpa, namun suasana semakin hangat karena penjelasan mama Rato yang heroik. Dari sini aku belajar bagaimana seseorang bersikap menjaga eksistensi diri dan identitas kulturalnya.

Mama Rato telah menunjukkan pada kami sosok yang memiliki imunitas kultural (daya tahan kebudayaan) sehingga menolak berbagai "serangan" budaya dan ideologi lain yang datang untuk merusaknya. Dari mama Rato aku melihat sosok penjaga tradisi Marapu yang kokoh dan kuat (Bersambung).*****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar